Silabus dan RPP Akidah akhlak

August 13, 2011

kelas X ini ganjil dan ini genap

kelas XI ganjil dan genap

Kaidah Ushul Fiqih

August 13, 2011

 

KAIDAH-KAIDAH

USHUL FIQIH

 

PELAJARAN 4

 

 

 

 

 

 

 

 

Memahami kaidah-kaidah ushul fiqih

 

 

Menjelaskan macam-macam kaidah Ushul Fiqih dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari

 

 

TANBIH

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُون

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(Q.S al Baqoroh /2:278-279)

 

IFTITAH

Seorang mujtahid harus memahami nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbagai bentuk ungkapan hukum di dalamnya harus dikuasainya. Untuk itu ia dituntut untuk menguasai gramatika bahasa Arab dan semestinya memahami maqasid syariahnya (tujuan-tujuan syariah).

Dengan demikian dia dapat menentukan hukum syar’i secara tepat. Bentuk paling banyak terdapat dalam nash adalah perintah dan larangan  ( َاْلاَمْرُوَالنَّهِي )  tetapi dalam konteks kalimat tertentu bentuk itu tidak selalu berarti berlaku hukum halal dan haram. Maka disinilah pentingnya kita memahami materi amar dan Nahi.

Dalam kehidupan sehari-hari terkadang kita sulit memahami kata yang bersifat umum / ‘am, tidak terikat / mutlaq, dan global / muradif. Tetapi juga sering menjumpai kata-kata yang sudah jelas maknanya, tegas, dan terbatas. Kata-kata itu dalam ilmu ushul fiqih disebut khash, muqayyad, dan musytarak. Kita perlu mempelajari lebih cermat agar dapat menentukan dengan tepat kata-kata tersebut. Begitu juga kita sering menemui ungkapan-ungkapan yang dapat kita pahami secara tersurat dan tersirat. Yang tersirat inilah yang membutuhkan kecerdasan emosional untuk memahami secara benar. Dalam ilmu ushul fiqih inilah yang disebut mantuq dan mafhum.

Di akhir materi, kita akan belajar tentang nasikh dan mansukh. Untuk lebih memahami semuanya, simaklah dengan sekasama materi berikut ini.

 

  1. AMAR DAN NAHI  ( َاْلاَمْرُوَالنَّهِي )

1. AMAR        ( َاْلاَمْرُ )

a.       Pengertian Amar       ( َاْلاَمْرُ )

Amar menurut bahasa berarti perintah, sedangkan menurut istilah :

الاَمْرُ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى

“Amar adalah perkataan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah.”

b.       Bentuk-Bentuk Amar dan Contohnya

Bentuk-bentuk tersebut adalah sebagai berikut :

1)      Fi’il Amar

Contoh :

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS Al-Baqarah/2 : 43)

2)      Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar :

Contoh :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS : Ali Imron /3: 104)

3)      Isim Fi’il Amar

Contoh :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu Telah mendapat petunjuk… (Q.S. Maidah /5:105)

 

4)      Isim Masdar pengganti fi’il

misal kata :    إِحْسَانًا  = berbuat baiklah

Contoh :

وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Dan kepada kedua orang tuamu berbuat baiklah.” (QS Al-Baqarah/2 : 83)

5)      Kalimat Berita (Kalam Khabar) bermakna Insya

Contoh :

يَتَرَبَصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ

“Hendaklah menahan dirinya.” (QS Al-Baqarah/2 : 228)

6)      Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah

أَمَرَ، فَرَض،  كَتَبَ ،وَجَبَ

Contoh :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah/2 : 183)

 

c.       Kaidah-Kaidah Amar dan Maknanya

1)      Kaidah pertama: Pada asasnya perintah menunjukkan wajib

الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ

“Pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib.”

إلاَّ ما دَلَّ دَلِيْلٌ على خِلاَفِهِ

Kecuali jika ada qarinah yang dapat mengalihkan lafadz Amar itu dari arti wajib kepada arti yang lain, maka hendaklah dialihkan kepada arti lain sesuai yang dikehendaki oleh qarinah tersebut, antara lain sebagai berikut :

a)      Nadb  اَلنَّدَب artinya sunah atau anjuran

Contoh :

وَالَّذِينَ يَبْتَغُونَ الْكِتَابَ مِمَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوهُمْ إِنْ عَلِمْتُمْ فِيهِمْ خَيْرًا

“Maka hendaklah kamu buat perjanjian mukatabah dengan mereka bila kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.” (QS an-Nur/24 : 33)

b)      Irsyad اَلاِْرْشَادُ  artinya membimbing atau memberi petunjuk

Contoh :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ…

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berhutang sampai masa yang ditetapkan, hendaklah kamu menulisnya.” (QS-Al-Baqarah/2 : 282)

c)      Do’a (الدعاء) artinya permohonan

Contoh :

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Wahai Tuhan kami, Berilah kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat.” (QS Al-Baqarah/2 : 201)

d)      Ibahah (الاباحة) artinya membolehkan

Contoh :

… وَكُلُوا وَاشْرَبُوا…

“Makan dan minumlah kamu …” (QS Al-Baqarah/2 : 187)

e)      Tahdid (التهديد) artinya mengecam

Contoh :

اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Kerjakanlah sekehendakmu” (QS. Fushilat/41 : 40)

f)       Ta’jiz (التعجيز) artinya melemahkan

Contoh :

 …فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ …

“Buatlah satu surat (saja) yang semisal dengan al-Qur’an itu.” (QS Al-Baqarah/2 : 23)

g)      Ikram (الاكرام ) artinya menghormat

Contoh :

ادْخُلُوهَا بِسَلَامٍ آمِنِينَ

“Masuklah ke dalamnya (syurga) dengan sejahtera dan aman” (QS AL-Hijr /15: 46)

 

h)      Tafwidl ( التفويض ) artinya menyerah

Contoh :

ÇÙø%$$sù !$tB |MRr& CÚ$s%

“Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.” (QS Thaha/20 : 72 )

i)        Talhif ( التلهيف) artinya menyesal

Contoh :

(#qè?qãB öNä3ÏàøŠtóÎ/ 3

“Katakanlah (kepada mereka)! Matilah kamu karena kemarahanmu itu” (QS Ali Imran/3 : 119)

j)        Takhyir (التخيير) artinya memilih

Contoh :

مَنْ شَاءَ فَلْيَبْخَلْ وَ مَنْ شَاءَ فَليَجِدْ كَفَانِى نَذَاكُمْ عَنْ جَمِيْعِ الخِطَابِ

“Barang siapa kikir, kikirlah, siapa mau bermurah hati, perbuatlah. Pemberian Tuhan mencukupi kebutuhan saya.” (Syair Bukhaturi kepada raja)

k)      Taswiyah (التسوية) artinya persamaan

Contoh :

اُدْخُلُوْهَا فَاصْبِرُوا اَوْ لاَ تَصْبِرُوا

“Masuklah ke dalamnya (neraka) maka boleh kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar, itu sama saja bagimu.” (QS Thaha/20 : 16)

 

2)      Kaidah Kedua : Perulangan dalam Suruhan

a)      Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulang

الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى التِكْرَار

“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut.”

Misalnya :

(#q‘JÏ?r&ur ¢kptø:$# not÷Kãèø9$#ur ¬!

“Dan sempurnakanlah ibadah Haji dan Umrah karena Allah.” (QS Al-Baqarah/2 : 196)

Perintah haji dan Umrah tidak wajib dikerjakan berulang kali, tetapi cukup sekali saja, karena suruhan itu hanya menuntut kita untuk melaksanakannya.

b)      Amar (perintah) itu menghendaki berulang-ulang

الاَصْلُ فِى الاَمْرِ يَقْتَضِى التِكْرَار مُدَّةَ العُمْرِ مَعَ الاِمْكَانِ

 “Pada dasarnya perintah itu menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi masih ada kesanggupan selama hidup.”

Misalnya :

 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4

 “Jika kamu berjunub maka mandilah.” (QS Al-Maidah/5 : 6)

ٲOÏ%r no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$#

Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir” (QS Al-Isra’ /17: 78)

 

3)      Kaidah Ketiga

الاَمْرُ بِالشَّيْئِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ

“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya / perantara.”

Misalnya, perintah mendirikan shalat berarti perintah untuk berwudhu, karena wudhu merupakan salah satu syarat sahnya shalat.

 

4)      Kaidah Keempat

الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى الفَوْرَ

“Pada dasarnya perintah (Amar) itu tidak menuntut dilaksanakan segera.”

Misalnya :

`yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4’n?tã 9xÿy™ ×o£‰Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé&

“Barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah mengqadha puasa itu pada hari yang lain.” (QS Al-Baqarah/2 : 184)

Puasa Ramadhan yang ditinggalkan itu boleh ditunda mengerjakannya, asal tidak melalaikan pekerjaan itu dan sebelum masuk Ramadhan berikutnya.

5)      Kaidah Kelima

الاَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُعِيْدُ الابَاحَةِ

“Perintah sesudah larangan menunjukkan kebolehan.”

 

Misalnya :

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَاررَةِ القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا

Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur, sekarang berziarahlah.” (HR Muslim)

#sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù

Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, berburulah.” (QS Al-Maidah/5 : 2)

Berdasarkan dua uraian tersebut, dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu hukumnya mubah tidak wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah ibadah haji.

 

2. NAHI ( النَّهِي )

a.       Pengertian Nahi (larangan)

Bahasa: mencegah atau melarang.

Istilah :

النَهْيُ هُوَ طَلَبُ التَّرْكِ مِنَ الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى

“Larangan ialah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah tingkatannya.”

b.       Bentuk-Bentuk Nahi dan Contohnya

1)      Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiyah” / lam nahi = janganlah

Ÿwur(#þqè=ä.ùs? Nä3s9ºuqøBr& Nä3oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/

“Dan jangan engkau memakan harta saudaramu dengan cara batil.” (QS Al-Baqarah/2 : 188)

Ÿw(#r߉šøÿè? ’Îû ÇÚö‘F{$#

“Janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS Al-Baqarah/2 : 11)

2)      Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan / suatu larangan.

Misalnya :

حَرَّمَ، اِحْذَرْ، اُتْرُكْ، نَهَى، دَعْ، ذَرْ

ôMtBÌhãm öNà6ø‹n=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur

“Diharamkan bagi kamu ibu-ibumu dan anak-anak perempuanmu.” (Qs An-Nisa’ /4: 23)

4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍x6YßJø9$#ur

Ðan dilarang dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS An-Nahl/16 :90)

 

c.       Kaidah-Kaidah Nahi dan Maknanya

1)      Kaidah Pertama

الاَصْلُ فِى النَهْيِ لِلتَحْرِيْمِ

“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram.”

Misalnya :

Ÿwur (#qç/tø)s? #’oTÌh“9$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. Zpt±Ås»sù uä!$y™ur Wx‹Î6y™

“Dan janganlah kau mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan sejelek-jeleknya jalan.” (QS Al-Isra’/4 : 32)

Kecuali ada petunjuk lain yang memalingkan dari arti haram ke arti lain,misalnya:

a)      Karahah   الكراهة

Misalnya :

وَ لاَ تَصُلُّوا فِى اَعْطَانِ الاِبِلِ

“Janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan unta.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi)

 

Larangan dalam hadits ini tidak menunjukkan haram, tetapi hanya makruh saja, karena tempatnya kurang bersih dan dapat menyebabkan shalat kurang khusyu’ sebab terganggu oleh unta.

b)      Do’aالدعاء

Misalnya :

$oY­/u‘ Ÿw ùø̓è? $oYt/qè=è% y‰÷èt/ øŒÎ) $oYoK÷ƒy‰yd

“Ya Tuhan Kami, Janganlah Engkau jadikan hati kami cenderung kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami.” QS Ali Imran /3: 8)

c)      Irsyad  الارشاد  artinya bimbingan atau petunjuk

Misalnya :

$pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=t«ó¡n@ ô`tã uä!$u‹ô©r& bÎ) y‰ö6è? öNä3s9 öNä.÷sÝ¡n@

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan memberatkan kamu.” (Qs Al-Maidah/5 : 101)

Larangan di atas hanya merupakan pelajaran, agar jangan menanyakan sesuatu yang akan memberatkan diri kita sendiri.

d)      Tahqir  التحقير meremehkan atau menghina

Misalnya :

Ÿw ¨b£‰ßJs? y7ø‹t^ø‹tã 4’n<Î) $tB $uZ÷è­GtB ÿ¾ÏmÎ/ $[_ºurø—r& óOßg÷YÏiB

“Dan janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir)” (QS Al-Hijr/15 : 88)

 

e)      Tay’is التيئس artinya putus asa

Misalnya :

لاَ تَعْتَذِرُ اليَوْمَ

“Dan janganlah engkau membela diri pada hari ini (hari kiamat)” (QS At-Tahrim /66: 7)

 

f)       Tahdid  ( التّهديد )artinya ancaman

Misalnya :

لاَ تُطِعْ اَمْرِى

“Tak usah engkau turuti perintah kami”

g)      I’tinas  ( الإئتاس )artinya menghibur

Misalnya :

Ÿw ÷bt“øtrB žcÎ) ©!$# $oYyètB (

“Janganlah engkau bersedih, karena sesungguhnya Allah SWTbersama kita.” (QS At-Taubah/9 : 40)

 

2)      Kaidah Kedua

الاَصْلُ فِى النَهْيِ المُطْلَقْ يَقْتَضِى التِكْرَارَى فِى جَمِيْعِ الاَزْمِنَةِ

“Pada dasarnya larangan mutlaq itu menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”

 

Apabila larangan itu tidak dikaitkan dengan batasan waktu atau sebab-sebab lain, maka berarti disuruh untuk meninggalkan selamanya, tetapi jika larangan itu terkait dengan waktu, maka larangan itu berlaku bila ada sebab saja.

Misalnya :

Ÿw (#qç/tø)s? no4qn=¢Á9$# óOçFRr&ur 3“t»s3ߙ

“Janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.” (QS an-Nisa’ /4: 43)

 

3)      Kaidah Ketiga

النَهْيُ عَنْ شَيْئٍ اَمْرٌ بِضِدِهِ

“Melarang dari sesuatu itu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”

Misalnya :

Ÿwur Ä·ôJs? ’Îû ÇÚö‘F{$# $·mttB

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan berlagak sombong.” (QS Luqman/31 : 18)

Larangan tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa kita diperintahkan untuk berjalan dengan sikap sopan.

 

4)      Kaidah Keempat

النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْهُ

“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun mu’amalah).”

Misalnya :

Larangan shalat dan puasa bagi wanita yang haid dan nifas. Jual beli binatang yang masih dalam kandungan. Hal ini tidak sah dan dilarang oleh syara’.

 

 

  1. ‘AM DAN KHAS  ( العَامُ وَ الخَاصً)

1.       ‘AM  ( العَامُ)

a.       Pengertian ‘Am

Al ‘Am (العَامُ ) secara bahasa berarti umum, merata, menyeluruh, sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :

Misalnya, lafadz al insan ( الانسان ) artinya seluruh manusia.

b.       Lafadz-Lafadz ‘am dan contohnya

Lafadz-lafadz yang digunakan untuk memberi faedah ‘am antara lain :

1)      Lafadz kullun dan jami’un, kaffah, ma’syar (seluruhnya)

Contoh :

كُلُّ رَاعٍ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap pemimpin (pemelihara) akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya (pemeliharaanya)” (HR Bukhari-Muslim)

uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_

“Dialah yang menjadikan segala apa yang ada di bumi untuk kamu” (QS Al-Baqarah/2 : 29)

 

2)      Isim mufrad yang dita’rifkan dengan alif lam jinsiyyah.

¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#

“Dan Allah SWTmenghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah/2 : 275)

Lafadz al bai’a (jual beli) dan ar riba (riba) keduanya disebut lafadz ‘am, karena isim mufrad yang dita’rifkan dengan “al jinsiyyah”.

bÎ)ur (#r‘‰ãès? |MyJ÷èÏR «!$# Ÿw !$ydqÝÁøtéB 3

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS Ibrahim/14 : 34)

!$tBur y7»oYù=y™ö‘r& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉ‹tRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ

3)      Lafadz jama’ yang dita’rifkan dengan alif lam.

Contoh :

àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%

“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “

4)      Lafadz mufrad dan jam’ yang dita’rifkan dengan idhafah

Contoh dengan idhafah :

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr&

“Allah SWTmensyari’atkan bagimu (pembagian warisan untuk) anak-anakmu.” (QS An-Nisa’/4 : 11)

Lafadz aulad adalah lafadz jama’ yang diidhafahkan dengan lafadz kum sehingga menjadi ma’rifat. Oleh karena itu lafadz tersebut dikategorikan lafadz ‘am.

5)      Isim-isim mausul seperti al ladzi, al ladzina, al lati, al la’i  .

( الذي، الذين، التي، اللأ تي، الللأ ئي، اولائ )

Misalnya :

tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâ‘x‹tƒur %[`ºurø—r& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spyèt/ö‘r& 9åkô­r& #ZŽô³tãur

“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri (iddah) empat bulan sepuluh hari.” (QS Al-Baqarah/2 : 234)

6)      Isim-isim syarat, seperti man (barang siapa), maa ( apa saja), ayyumaa (yang mana saja).

 ( من، ما، اي، ايما )

a) مَنْ= barang siapa
 

`tB ö@yJ÷ètƒ #[äþqߙ t“øgä† ¾ÏmÎ/ Ÿwur ô‰Ågs† ¼çms9 `ÏB Èbrߊ «!$# $wŠÏ9ur Ÿwur #ZŽÅÁtR

Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (QS An-Nisa/4 : 123)

b) مَا = apa saja
 

 $tBur (#qà)ÏÿZè? ô`ÏB 9Žöyz öNà6Å¡àÿRL|sù 4

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri.”

(QS Al-Baqarah/2 : 272)

c) اَيُّ = siapa saja
 

 $wƒr& $¨B (#qããô‰s? ã&s#sù âä!$yJó™F{$# 4Óo_ó¡çtø:$#

“Serulah Allah SWTatau serulah Ar-Rahman. dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai Asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).”

(QS Al-Isra’ /17: 110)

Contoh :

 

اَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَلاَقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَمَ عَلَيْهَا رِيْحَةُ الجَنَّةِ

“Siapa saja perempuan yang meminta ditalaq kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya harum-haruman syurga.” (HR Ahmad)

7)      Isim Nakirah yang terletak sesudah nafi’.

Misalnya :

مَا رَأَيْتُ رَجُلاً

“Aku tidak melihat seorangpun.”

 

(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw “Ì“øgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«ø‹x©

“Jagalah dirimu dari (adzab) hari (kiamat), yang pada hari itu, seorangpun tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.” (QS Al-Baqarah/2 : 48)

Kalimat “nafsun” = seorangpun, yang jatuh sesudah nafi’ (laa = tidak) yakni tidak tertentu, dan ditunjukkan kepada semua jenis manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

 

8)      Isim Istifham, ialah man (siapa), ma (apa), aina, ayyun (di mana) dan mata (kapan). Misalnya :

a).    من= siapa

`¨B #sŒ “Ï%©!$# ÞÚ̍ø)ム©!$# $·Êös% $YZ|¡ym

“Siapakah yang mau berpiutang kepada Allah SWTdengan piutang yang baik?” (QS Al-Baqarah/2 : 245)

b). مَا = apa

$tB óOä3x6n=y™ ’Îû ts)y™

“Apa sebab kamu masuk neraka?” (QS Al-Mudatsir/74 : 42)

c).  اَيُ= yang mana

öNä3•ƒr& ÓÍ_‹Ï?ù’tƒ $pkÅ­öyèÎ/ Ÿ@ö6s% br& ’ÎTqè?ù’tƒ šúüÏJÎ=ó¡ãB

“Siapakah diantara kamu yang bisa membawa kursi tahta kerajaan (Bulqis) di hadapanku sebelum mereka datang menyerahkan diri kepadaku?” (QS An-Naml/16 : 38)

d).  مَتَّي    = Kapan

 

مَتَى نَصْرُ اللهِ اَلاَ اِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيْبٌ

“Kapan datangnya pertolongan Allah? Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah SWTitu sangat dekat.” (QS Al-Baqarah/2 : 215)

e).   اَيْنَ=Diman

اَيْنَ مَسْكَنُكَ

“Di manakah tempat tinggalmu?”

c.       Kaidah ‘Am

عُمُوْمُ العَّامِ سُمُوْلِيٌّ وَ عُمُوْمُ المُطْلَقِ بَدَلِيٌّ

Artinya : “Keumuman ‘am itu bersifat menyeluruh  sedangkan keumuman mutlaq itu bersifat mengganti / mewakili.”

Ulama ushul fiqih membedakan antara lafadz ‘am dan lafadz mutlaq. Lafadz ‘am dapat mencakup semua satuan sekaligus, sedangkan mutlaq hanya dapat diterapkan kepada salah satu dari beberapa, yaitu sesuatu yang menonjol diantara satuan itu.

 

2.       KHASH  (الخَاصً)

a.       Pengertian Khash

Dari segi bahasa khash berarti tertentu atau khusus. Sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :

الخَصُّ هُوَ اللَفْظُ الذِى يَدُلُّ عَلَى مَعْنًا وَاحِدًا

Artinya : “Lafadz yang menunjukkan satu makna tertentu.”

Makna satu tertentu itu bisa menunjukkan perorangan, seperti Ibrahim, atau menunjukkan satu jenis, seperti Laki-laki atau menunjukkan bilangan, seperti dua belas, lima belas, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dll.

b.       Pembagian takhsis

Dalil yang mengecualikan dalil ‘am  (takhsisi) ada dua macam : 1) Takhsis  muttasil (bersambung), 2) takhsis munfasil (terputus /terpisah)

1)   Takhsis muttasil (bersambung)

adalah dalil pengecualian yang tidak berdiri sendiri, antara mukhasshish dan yang di takhsis disebut secara beriringan dalam satu nash/teks. Yang dapat dibedakan  menjadi  :

(1) Takhsis dengan istisna الاستثناء atau kecuali seperti firman                Allah SWT :

ΎóÇyèø9$#ur ÇÊÈ   ¨bÎ) z`»|¡SM}$# ’Å”s9 AŽô£äz ÇËÈ

“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian

(2) Takhshis dengan syarat               seperti firman Allah SWT :

 

£`åkçJs9qãèç/ur ‘,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ ’Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#u‘r& $[s»n=ô¹Î)

Artinya :

Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika para suami menghendaki perdamaian“

Kalimat jika mereka (para suami) menghendaki ishlah adalah syarat. Jadi, apabila rujuk itu tanpa maksud ingin hidup dengan damai dalam rumah tangga tidak diperbolehkan.

(3) Takhshis ghayah      atau ‘hingga batas’, baik waktu maupun tempat, ghayah itu ada dua macam, yaitu hatta (sehingga) dan ilaa (sampai).

a. Ghayah dengan hatta yang menunjuk batas waktu

 Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ

Artinya : “ Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci “. (QS Al-Baqarah /2:222)

b. Ghayah dengan ilaa yang menunjuk batas tempat

$pkš‰r’¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% ’n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#

                        Artinya :

“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku “ (QS. Al-Maidah/5 :6)

2)   Takhsis Munfasil (terputus/terpisah) :

adalah mukhashis dan yang di takhsis  terpisah, tidak dalam satu kalimat.

 

Bentuk-bentuknya sebagai berikut :

a. Al hiss (indera)

إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ (٢٣)

23. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. An naml: 23

Indera manusia tidak mungkin diberi yang namanya segala sesuatu, pastilah segala sesuatu ini sesuatu yang terbatas.

b. akal

…هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ (١٠٢)

…dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu. Al an’am: 102

Secara akal segala sesuatu di sini kecuali dzat Allah sendiri

c. Nash

 

1. Ayat Al-Qur’an ditakhsis dengan ayat Al-Qur’an  seperti firman       Allah SWT :

      àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%

        Artinya : “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “ (QS. Al-Baqarah/2 ; 228)

Ayat ini memberikan pengertian umum, meliputi wanita-wanita yang dicerai kemudian dikecualikan (ditakhsis) bagi wanita-wanita yang sedang hamil dengan firman Allah SWT :

 àM»s9’ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq

Artinya :

“ Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya “.  (QS Ath-Thalaq/65:4)

Ayat ‘am diatas disamping ditakhis dengan surah Ath-Thalaq :4, juga ditakhsis  dengan surah Al-Baqarah : 234 tentang wanita-wanita yang ditinggal mati suaminya dan ditakhsis dengan surah Al-Ahzab :49 tentang wanita  yang dicerai  suaminya yang belum mengadakan hubungan kelamin.

2. Ayat Al-Qur’an yang ditakhsis dengan hadits

ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þ’Îû öNà2ω»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üu‹sVRW{$#

Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu  bagian anak laki-laki denga dua bagian anak perempuan ” (QS. An-Nisa’ /4: 11)

 

Ayat diatas memberi pengertian umm, baik anak msuslim maupun yang bukan muslim. Ayat ini kemudian ditkhsis dengan hadits Nabi SAW :

(اَلْمُخَصَّصُ) لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ اْلكَافِرَ وَلاَ الْكَافِرَ الْمُسْلِمُ (رواه البخري ومسلم )

Artinya :

“Orang Islam tidak menerima waris dari orang kafir dan orang kafir tidak menerima waris dengan orang Islam “ (HR. Bukhari Muslim)

3. Ayat al qur’an ditakhsih dengan ijma

Laki-laki yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina dan tidak bisa mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka 80 kali ( annur: 4)

Ijma mentakhsis budak laki – laki penuduh di dera 40 kali separo laki-laki merdeka

4. Ayat al qur’an ditakhsis dengan qiyas

Pezina wanita dan pezina laki-laki, deralah setiap salah satu dari keduanya 100 kali. Annur: 2

Qiyas mentakhsih bahwa budak laki-;ali atau budak perempuan deranya 50 kali.

5. Hadits ditakhsis dengan Al-Qur’an

(العل) لاَيَقْبَلُ اللهَ صَلاَةَ اَحَدِكُمْ اِذَا اَحْدَثَ حَتيَّ يَتَوَضَّاءَ (رواه البخاري ومسلم )

Artinya :

Allah tidak menerima shalat seseorang diantara kamu yang berhadas, sehingga dia berwudhu “ ( HR. Bukhori dan Muslim )

bÎ)ur LäêYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4’n?tã @xÿy™ ÷rr& uä!$y_ Ӊtnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#r߉ÅgrB [ä!$tB (#qßJ£Ju‹tFsù #Y‰‹Ïè|¹

Artinya :

Dan jika kamu  sakit atau dalam perjalan atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak menemukan air maka tayamumlah dengan tanah yang  suci “ ( QS. An-Nisa’/4 : 43)

6. hadits ditakhsis dengan hadits

“ pertanian yang diairi hujan zakatnya sepersepuluh” ditkahsish dengan hadits “ yang kurang dari 5 wasaq tidak terkena zakat”

7. hadits ditkashsis dengan ijma

8. hadits di takhsis dengan qiyas.

Bujang yang melakukan zina dicambuk 100 kali dan diasingkan, qiyas mentakhsish bagi budak hukumannya separo, demikian menurut jumhhur.

  1. MUTLAQ DAN MUQAYYAD

1.      Pengertian Mutlaq dan Muqayyad  ( المطلق والمقيد)

Mutlaq menurut bahasa berarti lepas tidak terikat, adapun menurut istilah berarti suatu lafadz tertentu yang tidak terikat yang dapat mempersempit keluasan artinya. Contoh mutlaq

㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ `ÏiB È@ö6s% br& $¢™!$yJtFtƒ

“Maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.” (QS Al-Mujadalah/58 : 3)

Lafadz budak dalam ayat tersebut adalah lafadz mutlaq, karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu. Sehingga lafadz raqabatin itu mencakup keseluruhan budak, baik yang mukmin maupun yang kafir.

Muqayyad menurut bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang terikat oleh lafadz lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.

Contoh Muqayyad

 `tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡•B

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah, hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An-Nisa/4 : 92)

 

Pada ayat ini teradapat lafadz muqayyad yaitu :   رَقَبَةٍ    مُؤْمِنَهُ  sehingga kalau seseorang membunuh orang mukmin karena tersalah maka wajib memerdekakan budak yang mukmin sebagai kifaratnya. Kalau budaknya bukan orang mukmin maka kifarat itu tidak sah.

 

2.      Hukum Lafadz Mutlaq dan Muqayyad

Apabila dalam nash Al-Qur’an atau As-Sunnah disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayyad, maka menurut Ulama’’ ada empat alternatif pemecahannya :

1)      المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّدِ اِذا اتَّفَقَا  ِفي السَّبَبِ وَ اْلحُكُمِ

Artinya :

“Mutlaq dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya sama. Jika antara mutlaq dan muqayyad sama dalam materi dan hukunya, maka hukum mutlaq disandarkan kepada muqayyad “

Berarti kalau keduanya mempunyai persamaan dalam sebab dan hukum, maka harus berpegang pada muqayyad.

Contoh :

ôMtBÌhãm ãNä3ø‹n=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌ“Yσø:$#

“Diharamkan atas kamu bangkai, darah, dan daging babi.” (QS. Al-Maidah /5: 3)

 

Lafadz (darah) disebut dengan lafadz (mutlaq), sementara pada ayat yang lain disebutkan dengan lafadz muqayyad yaitu :    (darah yang mengalir) sebagaimana firman Allah SWTsebagai berikut.

@è% Hw ߉É`r& ’Îû !$tB zÓÇrré& ¥’n<Î) $·B§ptèC 4’n?tã 5OÏã$sÛ ÿ¼çmßJyèôÜtƒ HwÎ) br& šcqä3tƒ ºptGøŠtB ÷rr& $YByŠ %·nqàÿó¡¨B ÷rr& zNóss9 9ƒÍ”\Åz

“Katakanlah, tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkannya bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau  makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi.” (Qs Al-An’am/6 : 145)

Dengan melihat ketentuan di atas, maka yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad, karena mempunyai sebab yang sama yaitu keadaannya sama-sama darah dan juga hukumnya sama yaitu haram. Sehingga yang dijadikan pegangan hukum adalah surah Al-An’am 145 karena lafadznya yang muqayyad (darah yang mengalir). Dijadikan pegangan hukum adalah surah Al-An’am 145 karena lafadznya muqayyad (darah yang mengalir)

2)      المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّداِنِ احْتَلَفَا ِفي السَّبَبِ

Artinya :

Mutlaq itu dibawa ke muqayyad jika sebabnya berbeda

Apabila terdapat nash yang demikian, yang mutlaq tidak boleh diikutkan pada yang muqayyad, sementera Ulama’’ Syafi’iyah berpendapat sebaliknya yang mutlaq diikutkan pada yang muqayyad.

Contoh :

tûïÏ%©!$#ur tbrãÎg»sàム`ÏB öNÍkɲ!$|¡ÎpS §NèO tbrߊqãètƒ $yJÏ9 (#qä9$s% ㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ `ÏiB È@ö6s% br& $¢™!$yJtFtƒ 4

“Orang-orang yang mendzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib atas mereka memerdekakan seorang budak sebelum suami istri itu bercampur.” (QS Al-Mujadalah/58 : 3)

Ayat lain menjelaskan sebagai berikut :

`tBur Ÿ@tFs% $·YÏB÷sãB $\«sÜyz ㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B ×ptƒÏŠur îpyJ¯=|¡•B #’n<Î) Ï&Î#÷dr&

“Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan budak yang mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (QS An-Nisa’/4 : 92)

Masalah yang ada dalam dua ayat ini berbeda yaitu tentang dzihar dan pembunuhan tersalah. Kifarat terhadap keduanya sama yaitu memerdekakan hamba sahaya. Oleh karena itu, yang dijadikan pegangan adalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, baik terhadap dzihar maupun pembunuhan tersalah.

3)      المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّداِذَاحْتَلَفَا ِفي َاْلحُكُمِ

Artinya :

Mutlaq itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya “

Sama sebabnya tetapi hukumnya berbeda, Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah berpegang pada yang muqayyad, sedangkan Ulama’ Malikiyah dan Hanabillah berpegang pada masing-masing yaitu yang mutlaq tetap mutlaq dan muqayyad tetap muqayyad.

Contoh :

(#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai ke siku.” (QS Al-Maidah /5: 6)

 

Ayat yang lain dinyatakan

(#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ‰÷ƒr&ur çm÷YÏiB

“Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS Al-Maidah/5 : 6)

 

Menurut Ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah berpegang pada muqayyad, baik wudhu maupun tayamum harus sampai siku. Ulama’ Malikiyah dan Hanabilah berpendapat untuk wudhu sampai siku (muqayyad) dan untuk tayamum sampai pergelangan tangan (mutlaq).

 

4)      المُطْلَقُ يُحْمَلُ عَلىَ الْمُقَيَّد اِذِ اخْتَلَفَا ِفي السَّبَبِ

Artinya :

Mutlaq tidak dibawa ke muqayyad jika sebab dan hukumnya berbeda

Jika sebab dan hukumnya berbeda, maka mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa mutlaq tidak boleh diikutkan dengan muqayyad. Artinya yang mutlaq tetap dan yang muqayyad sesuai dengan muqayyadnya.

 

Contoh :

ä-͑$¡¡9$#ur èps%͑$¡¡9$#ur (#þqãèsÜø%$$sù $yJßgtƒÏ‰÷ƒr&

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, maka potonglah kedua tangannya.” (QS Al-Maidah/5 : 38)

Ayat yang lain :

(#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ‰÷ƒr&ur ’n<Î) È,Ïù#tyJø9$#

“Maka basuhlah wajahmu dan kedua tanganmu sampai ke siku.” (QS Al-Maidah/5 : 6)

Karena sebab dan hukumnya berbeda, maka hendaklah dijalankan sesuai dengan hukum masing-masing.

3.      Kaidah yang berhubungan dengan Mutlaq dan Muqayyad

المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى اِطْلاَقِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِهِ

 Artinya : “Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.”

المُقَيَّدُ بَاقٍ عَلَى تَقْيِيْدِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَقِهِ

Artinya : “Hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”

  1. MANTUQ DAN MAFHUM (المنطوق والمفهوم )

1.      Pengertian Mantuq dan Mafhum

Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah suatu makna yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya). Mantuq bermakna tekstual / yang tersirat. Apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan bunyi dari dalil (ucapan dalil) maka yang demikian itu dinamakan mantuq.

Contoh :

¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#

“Allah SWT menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Maidah/5 : 275)

Hukum jual beli itu halal dan riba itu haram. Langsung ditunjukkan secara jelas oleh lafadz ayat tersebut.

 

Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedangkan menurut istilah suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri, tetapi menurut pemahaman terhadap ucapan lafadz tersebut. Mafhum bermakna kontekstual (yang tersirat) apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan pemahaman terhadap suatu ucapan maka dinamakan mafhum.

Contoh

Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&

“Janganlah engkau katakan kepada keduanya (ibu bapakmu) perkataan “cih”.” (QS Al-Isra’/17 : 23)

 

Secara mantuq ayat ini mengharamkan mengucapkan kata “cih” kepada kedua orang tua. Namun bagaimana kalau memukul orang tua ? kita dapat memahami dari ayat tersebut, bahwa mengucapkan kata “cih” saja yang begitu ringan diharamkan apalagi kalau sampai memukulnya, tentu lebih berat. Tetapi hukum haram memukul orangtua tidak ditunjukkan oleh lafadz ayat, melainkan ditunjukkan oleh pemahaman terhadap ayat tersebut.

2.      Macam-Macam Mafhum

Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.

1)   Mafhum muwafaqah, yaitu menetapkan hukum dari makna yang sejalan atau sepadan dengan makna yang tersurat (mantuq) berarti sesuatu yang tidak diucapkan itu sama hukumnya dengan yang diucapkan.

Misalnya, khamr itu diharamkan karena memabukkan. Maka semua zat yang memabukkan itu hukumnuya haram, mengucapkan kata “Cih” kepada kedua orangtua adalah haram, menurut mafhumnya memukul kedua orangtua juga haram, karena keduanya mempunyai illat yang sama, yaitu sama-sama memabukkan.

Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi 2 macam

a)      Fahwal Khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Seperti larangan memukul ibu bapak itu haram hukumnya, sebab mengucapkan kata “cih” saja (lebih ringan dari memukul) juga diharamkan, apalagi memukul kedua orangtua.

b)      Lahnal khitab yaitu apabila yang tidak diucapkan (mafhum) itu sama hukumnya dengan yang diucapkan. Seperti membakar harta anak yatim itu hukumnya haram, sebab memakannya juga dihukumi haram. Keduanya mempunyai illat yang sama yaitu sama-sama  merusak harta anak yatim .

2)      Mafhum Mukhalafah, yaitu menetapkan hukum kebaikan dari hukum mantuqnya yang tidak diucapkan itu bertentangan/kebalikan dengan apa yang diucapkan baik dalam menetapkan hukum maupun  meniadakannya. Mafhum mukhalafah terdiri dari enam, macam :

c)      Mafhum sifat, yaitu menetapkan hukum tentang sesuatu berlawanan dengan sifat yang ditetapkan.

Misalnya :

㍃̍óstGsù 7pt7s%u‘ 7poYÏB÷s•B

“…Hendaklah memerdekakan hamba sahaya yang mukmin.” (QS An-Nisa/4 : 92)

Membayar kifarat pembunuhan tersalah dengan memerdekakan budak yang mukmin, maka kalau dengan hamba sahaya yang tidak mukmin (kafir) hukumnya tidak sah.

d)      Mafhum syarat, yaitu menetapkan hukum atas suatu perkara dikaitkan  dengan syarat. Misalnya, suami boleh memakai sebagian dari mas kawin istrinya dengan penyerahan senang hati, mafhumnya adalah apabila istri tidak menyerahkan dengan senang hati, hukumnya haram.

e)      Mafhum ‘adad (bilangan), yaitu menetapkan hukum suatu perkara dikaitkan dengan bilangan tertentu. Misalnya, orang yang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka terkena hukuman berupa didera delapan puluh kali. Mafhumnya adalah apabila dapat menghadirkan empat orang saksi, maka tidak dihukum dera.

f)       Mafhum Ghayah (batas), yaitu menetapkan suatu hukum dengan batasan tertentu dan berlaku sebaliknya bila batasan tersebut dilampaui. Misalnya, makan dan minum pada bulan Ramadhan dibatasi sampai terbitnya fajar. Mafhumnya adalah kalau melebihi waktu fajar maka makan dan minum itu dilarang.

g)      Mafhum Hashr (pembatas/penyingkat) yaitu menetapkan suatu hukum disertai pembatasan tidak melampaui sesuatu di luar batas tersebut. Misalnya, tuan yang telah membebaskan budaknya berhak mewarisi harta peninggalan budak tersebut. Mafhumnya selain tuan yang telah membebaskannya, tidak ada yang berhak mendapatkan warisan dari budak yang telah dimerdekakan itu.

h)      Mafhum Laqab, yaitu menetapkan hukum dikaitkan  dengan  isim alam, nama jenis dan sebagainya. Selain yang disebutkan berlaku sebaliknya. Misalnya, menukar emas dengan emas, perak dengan  perak, gandum dengan gandum, beras dengan beras, kurma dengan kurma, garam dengan garam, yang serupa (sifatnya) dan sama (jumlahnya) suka sama suka, dengan berat jumlah sama maka bukan riba

Apabila penukaran barang yang sejenis itu tidak berarti diperbolehkan sama jumlahnya, maka hukumnya riba, mafhumnya adalah selain yang enam jenis tersebut di atas hukumnya bukan riba.

3.      Berhujjah dengan Mafhum

Menjadikan mafhum sebagai dasar hukum pada dasarnya dibedakan sebagai berikut :

i)        Para Ulama’ sepakat membolehkan berhujjah dengan mafhum muwafaqah.

j)        Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa berhujjah dengan mafhum mukhalafah diperbolehkan kecuali mafhum laqab.

k)      Ulama’ Hanafiyah, ibnu Hazm, dan golongan Zahiriyah berpendapat bahwa semua mafhum mukhalafah tidak dapat dijadikan hujjah/alasan.

4.      Kaidah terkait dengan Mantuq dan Mafhum

مَفْهُوْمُ المُوَافَقَةِ حُجَّةٌ

Artinya : “Mafhum muwafaqah (makna tersirat yang sesuai) dapat dijadikan hukum.”

Maksud kaidah ini adalah bahwa hasil dari mafhum muwafaqah yang tidak bertentangan dengan hukum syariat dapat dijadikan pegangan hukum. Contohnya, keharaman berkata “ah” kepada kedua orang tua. Maka menghardik, menghina, bahkan memukulnya juga diharamkan.

 

  1. MUJMAL DAN MUBAYYAN ( المجمل والمبيّن )

1.      Pengertian Mujmal dan Mubayyan

Mujmal ialah lafadz yang untuk memahami maksudnya tergantung pada lafadz lainnya baik mengenai ketentuannya, atau sifat/tatacara atau ukurannya. Abdul Wahab Khallaf  mendefinisikan mujmal sebagai “lafadz” yang pengertiannya tidak dapat dipahami dari lafadz itu sendiri apabila tidak ada qorinah/tanda-tanda yang menjelaskannya.

Contoh :

– Mujmal yang maksudnya harus ditentukan salah satu maknanya terlebih dahulu. Yakni kata quru’ karena memiliki dua arti yakni suci dan haid. Untuk menentukan maknanya memerlukan ayat atau hadits yang menjelaskan arti ini.

 ‏{‏وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ‏}‏ ‏[‏البقرة‏:‏ من الآية228‏]‏‏

– Contoh mujmal yang membutuhkan penjelasan tatacara, اقيموالصلواة… cara melaksanakannya membutuhkan penjelasan dari ayat atau hadits lainnya.

– Contoh mujmal yang membutuhkan penjelasan ukurannya

 {‏وَآتوا الزكاة ‏}‏ ‏[‏البقرة‏:‏ من الآية43‏]‏

Mubayyan ialah lafadz yang jelas makna dan  maksudnya sejak semula atau setelah ada penjelasan.

 

Contoh :

ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& ’Îû Ædkptø:$# >pyèö7y™ur #sŒÎ) öNçF÷èy_u‘ 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×’s#ÏB%x.

“Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS Al-Baqarah : 196)

Lafadz “tsalatsati ayyamin” (tiga hari), “sab ‘atin (tujuh) dan “’asyaratun” (sepuluh),”ardlun” (bumi), “samaun” (langit)  adalah sangat jelas sehingga tidak perlu penjelasan lagi.

  1. Macam-Macam Bayan

3)      Bayan dengan perkataan, misalnya :

ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& ’Îû Ædkptø:$# >pyèö7y™ur #sŒÎ) öNçF÷èy_u‘ 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×’s#ÏB%x.

“Maka wajib puasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari setelah pulang. Itulah sepuluh hari yang sempurna.” (QS Al-Baqarah/2 : 196)

Lafadz “tsalatsati ayyamin” (tiga hari), “sab ‘atin (tujuh) dan “’asyaratun” (sepuluh) adalah sangat jelas sehingga tidak perlu penjelasan lagi.

Ayat ini sebagai bahan (penjelas) dari rangakaian  kalimat sebelumnya tentang  pengganti denda/dam bagi orang yang melaksanakan haji tamattu’.

4)      Bayan dengan perbuatan, misalnya penjelasan Nabi SAW dalam masalah shalat.

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى

“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku mengerjakan shalat.” (HR Bukhari).

Cara shalat ini dijelaskan Rasulullah SAW.dengan perbuatan shalat dan sambil menyuruh orang lain untuk menirukannya. Oleh karena itu, penjelasan semacam ini disebut “Bayan dengan perbuatan”.

5)      Bayan dengan isyarat, misalnya hadits Nabi, “ Aku dan orang yang menanggung anak yatim seperti ini”. Rasulullah menunjukkan ibu jari dan jari tengah untuk menunjukka kedekatannya para penyantun anak yatim.

6)      Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan, seperti ketika Rasulullah SAW. menerangkan tentang kewajiban haji di muka umum, kemudia ada salah seorang yang bertanya, apakah kewajiban haji itu tiap-tiap tahun? Kemudian beliau diam tidak memberikan jawaban. Maka diamnya Rasulullah SAW itu menjadi bayan bahwa kewajiban haji itu tidak setiap tahun.

7)      Bayan dengan meninggalkan perbuatan, seperti hadits riwayat Ibnu Hibban yang artinya : “Adalah akhir dua perkara pada Nabi SAW adalah tidak berwudhu karena makan apa yang dipanaskan oleh api.”

Hadits ini sebagai penjelaskan bahwa Nabi SAW tidak berwudhu setiap kali selesai makan daging yang dimasak.

 

  1. Kaidah terkait dengan Mujmal dan Mubayyan

تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ

Artinya : “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.”

Maksudnya, dalam keadaan mendesak, memberikan penjelasan sesegera dan secepat mungkin menjadi keharusan.

 

تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الخِطَابِ يَجُوْزُ

Artinya : “Mengakhirkan penjelasan pada saat diperintahkan hukumnya boleh.”

Contoh, perintah salat, puasa, zakat, dan haji. Semua dijelaskan secara bertahap dan mendetail. Ia tidak langsung serta merta dijelaskan, tetapi penjelasannya diakhirkan. Dalam hal ini, yang lebih dipentingkan adalah kejelasan dari suatu  hukum, bukan kesegeraannya.

 

  1. MURADIF DAN MUSYTARAK (المرادف والمشترك)
  1. Pengertian Muradif dan Musytarak

Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafadznya banyak, sedang artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim.

8)       اللَّيْثُ, الاَسَدُ                                     :singa

9)        الاستاذ, المدرَس, المعلم, المؤدّب : pendidik (guru)

10)    الهرّ, القط                                       : kucing

  1. Pengertian Musytarak

musytarak ialah satu lafadz  yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadz mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda.

11)  قُرُوْءُ            :suci

12)   يَدٌ              :tangan secara keseluruhan, telapak tangan, lengan tangan

13)  ذَهَبَ           : pergi, hilang

14)  عَيْنٌ                            : mata, sumber mata air dan mata-mata

  1. Muradif dan Musytarak

a.

اِيْقَاعُ كُلٍّ مِنَ المُرَادِفَيْنِ مَكَانَ الاخرِ يَجُوْزُ اِذَا لَمْ يَقُمْ عَلَيْهِ طَالِعٌ شَرْعِيٌّ

Artinya: Mendudukkan dua muradit pada tempat yang lain (mempertukarkannya) itu diperbolehkan jika tidak ada ketetapan syara’.

 

Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun kaidah ini tidak berlaku bagi Al-Qur’an, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir salat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam syafi’I membolehkan dengan lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”.

Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah). Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud ibadah tersebut.

b.

اِسْتِعْمَالُ المُشْتَرَكِ فِى مَعْنَيْهِ اَوْ مَعَانِهِ يَجُوْزُ

Artinya : Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu diperbolehkan.

 

Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafal musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, QS Al-Hajj [22] : 2, “Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumah-Ku bagi orang-orang yang tawaf, dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.”

Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i berpendapat bahwa pemakaian lafadz musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman Allah SWT.

óOs9r& ts? žcr& ©!$# ߉àfó¡o„ ¼çms9 `tB ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# `tBur ’Îû ÇÚö‘F{$# ߧôJ¤±9$#ur ãyJs)ø9$#ur ãPqàf‘Z9$#ur ãA$t7Ågø:$#ur ãyf¤±9$#ur >!#ur¤$!$#ur ׎ÏVŸ2ur z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# (

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar manusia?” (QS Al-Haj : 18)

Lafadz يَسْجُدُ itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya dengan

كَثِيْرٌ مِنَ النَاسِ . oleh karena itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah SWT:   اوْ لَمَسْتُمُ النِّسَاء dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara bersama-sama.

 

  1. ZAHIR DAN TAKWIL
  1. Pengertian Zahir dan Takwil

Zahir menurut bahasa berarti jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya yang dengan sendirinya menunjuk makna/arti yang lebih kuat dengan kemungkinan mengandung makna lain.

Contoh Zahir:

Firman Allah SWT:

 ¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#

“Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah /2: 275)

Ayat tersebut secara zahir menjelaskan halalnya jual beli dan haramnya riba tanpa memerlukan keterangan atau penjelasan lain.

توضؤوا من لحوم الإبل

Hendaklah kalian wudlhu lagi karena makan daging unta.

Kata “wudlu” di sini bermakna dhohir yakni wudlu sperti hendak sholat. Bukan wudlu secara bahasa yaitu bersih.

 

Sedangkan takwil secara bahasa berarti berbelok atau berpaling apabila kembali. Menurut istilah adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/bukti, sehingga menjadi lebih jelas.

Contoh Takwil : seperti lafadz يَدٌ (tangan), lafadz ini bisa diartikan kepada tangan atau makna yang lain yaitu kekuasaan.

و اسأل القرية

Bertanyalah pada desa itu.

Ditakwil menjaadi “bertanyalah pada penduduk desa itu” karena tidak mungkin bertanya pada desa itu sendiri.

Agar lafadz tersebut menjadi jelas, maka masih diperlukan keterangan lain, sehingga tidak menyimpang dari makna zahirnya.

 

  1. Masalah yang dapat ditakwil

Para Ulama’ sepakat bahwa masalah-masalah yang bersifat furu’ (cabang) dapat menerima takwil. Sedangkan masalah-masalah ushul (pokok) atau aqidah terdapat perbedaan pendapat.

15)  Golongan Musyabbihah berpendapat bahwa masalah-masalah yang berhubungan dengan aqidah tidak perlu ditakwilkan karena sudah jelas dan berlaku menurut zahir, seperti mengartikan tangan Allah SWT disamakan dengan tangan manusia / makhluk-Nya.

16)  Golongan salaf seperti Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa masalah-masalah ushul atau aqidah dapat ditakwilkan, tapi takwilnya diserahkan kepada Allah SWT. jadi, menurut pendapat ini Allah SWT memang bertangan tetapi tangan Allah SWT itu berbeda dengan tangan makhluk-Nya, karena hakekatnya yang paling tahu adalah Allah.

17)  Golongan Khalaf berpendapat bahwa boleh mentakwilkan dan pentakwilannya dilakukan oleh manusia sendiri, seperti mengartikan “tangan Allah” ditakwilkan dengan “kekuasaan Allah”, “mata Allah” ditakwilkan dengan “pengawasan Allah”, dan “Allah SWT bersemayam di Arsy” ditakwilkan dengan “Allah SWT berkuasa di Arsy”, dan sebagainya.

  1. Syarat-syarat Takwil

Takwil harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a)      Takwil harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa dan sastra Arab.

b)      Takwil harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’

c)      Takwil harus dapat menunjukkan dalil (alasan) tentang takwilnya itu.

d)      Jika takwil berdasarkan qiyas haruslah memakai qiyas yang jelas dan kuat.

  1. Kaidah berhubungan dengan Takwil

الفُرُوْعُ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ اتِّفَاقًا

Artinya : “Masalah cabang (furu’) dapat dimasuki takwil berdasarkan konsensus.”

الاُصُوْلُ لاَ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ

Artinya : “Masalah ushuluddin (akidah) tidak dapat menerima takwil.”

 

 

  1. NASIKH DAN MANSUKH

Sebagaimana kita ketahui bahwa Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus tetapi bertahap untuk memudahkan umat Islam menyesuaikan diri dengan hukum-hukum yang ditetapkan Allah SWT. sehingga kadang ada hukum yang dulu sudah ditetapkan dianggap tidak berlaku lagi karena ada hukum baru yang datang kemudian. Hukum terdahulu yang dianggap tidak berlaku lagi disebut mansukh = yang dihapus, dan hukum yang datang kemudian disebut nasikh = yang menghapus.

 

 

  1. Pengertian  Nasikh dan Mansukh

Nasikh menurut bahasa dari kata نَسَحَ berarti menghapus, memindahkan atau membatalkan, sedangkan menurut istilah ushul fiqih ialah

النَّسْخُ هُوَ رُفْعُ حُكْمٍ شَرْعِيِ عَنِ المَكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِىٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِّرِ

Artinya : “menghapus hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang kemudian.”

Yang membatalkan disebut nasikh dan yang dibatalkan disebut mansukh.

Contoh Nasikh dan Mansukh

Sabda Nabi SAW :

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا

 

“Dahulu aku melarang kamu berziarah kubur, sekarang berziarahlah ke kuburan karena hal itu dapat mengingatkan kamu tentang akherat.” (HR Muslim dan Abu Dawud).

Menurut hadits di atas semula ziarah kubur itu hukumnya haram. Kemudian, hukum haram itu sudah dihapus. Yang menghapuskan haramnya ziarah kubur adalah hadits Nabi SAW sendiri dengan sabdanya.

 

  1. Dasar Hukum Nasakh

Firman Allah SWT :

$tB ô‡|¡YtR ô`ÏB >ptƒ#uä ÷rr& $ygÅ¡YçR ÏNù’tR 9Žösƒ¿2 !$pk÷]ÏiB ÷rr& !$ygÎ=÷WÏB 3 öNs9r& öNn=÷ès? ¨br& ©!$# 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃ωs%

“Ayat mana saja yang kami hapuskan atau kami jadikan (manusia) lupa padanya, Kami datangkan yang lebih baik  dari padanya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah SWTMaha Kuasa atas segala sesuatu?” (QS Al-Baqarah : 106)

 

(#qßsôJtƒ ª!$# $tB âä!$t±o„ àMÎ6÷Vãƒur ( ÿ¼çny‰YÏãur ‘Pé& É=»tGÅ6ø9$#

“ Allah SWTmenghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki) dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahrfudz).” (QS Ar-Ra’ad/13 : 39)

 

  1. Syarat-syarat Nasakh

Nasakh harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a)      Yang dinasakh (dibatalkan) itu hukum syara’

b)      Pembatalan itu datangnya dari Khithab (tuntunan) syara’

c)      Nasikh harus terpisah / muntashil dari Mansukh, dan datangnya terkemudian dari mansukhnya.

d)      Mansukh tidak terikat oleh waktu

e)      Nasikh harus lebih kuat atau sama kuatnya dengan mansukh. Misalnya, Al-Qur’an dengan al-Qur’an yang sama-sama qath’i.

 

  1. Macam-macam Nasakh

Para ulama ushul fiqih membagi nasakh menjadi 3 macam.

18)  QS. Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

QS. Al-Anfal [8] : 65

$pkš‰r’¯»tƒ ÓÉ<¨Z9$# ÇÚÌhym šúüÏZÏB÷sßJø9$# ’n?tã ÉA$tFÉ)ø9$# 4 bÎ) `ä3tƒ öNä3ZÏiB tbrçŽô³Ïã tbrçŽÉ9»|¹ (#qç7Î=øótƒ Èû÷ütGs($ÏB 4 bÎ)ur `ä3tƒ Nà6ZÏiB ×ps($ÏiB (#þqç7Î=øótƒ $Zÿø9r& z`ÏiB šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOßg¯Rr’Î/ ×Pöqs% žw šcqßgs)øÿtƒ

Artinya : “Hai Nabi, Kobarkanlah semangat Para mukmin untuk berperang. jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti”.

Dinasakh dengan surat QS Al-Anfal [8] : 66

Ÿw (#râ‘É‹tG÷ès? ô‰s% Länöxÿx. y‰÷èt/ óOä3ÏY»yJƒÎ) 4 bÎ) ß#÷è¯R `tã 7pxÿͬ!$sÛ öNä3ZÏiB ó>Éj‹yèçR Opxÿͬ!$sÛ öNåk¨Xr’Î/ (#qçR$Ÿ2 šúüÏB̍øgèC

Artinya : “Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”

19)  Sunnah dengan Al-Qur’an

اِسْتِقْبَلَهُ فِى الصَّلاةِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا

Artinya : “Bahwasannya Nabi SAW menghadap (Baitul Maqdis) dalam shalat enambelas bulan.”

فَوَلِّى وَجْهَكَ شَطْرَ المَسْجِدِ الحَرَامِ

Artinya : “Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.” (QS Al-Baqarah, ayat 144)

20)  Sunnah dengan Sunnah

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَاررَةِ القُبُوْرِ اَلاَ فَزُوْرُهَا

 

  1. Hikmah Naskh

Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hikmah adanya naskh adalah sebagai berikut:

21)  Hukum Allah diturunkan untuk mewujudkan kepentingan hidup manusia. Kepentingan hidup manusia selalu berubah disebabkan perubahan hidup, waktu, dan tempat. Maka naskh sebagai salah satu jalan memperjelas hukum hasilnya sejalan dengan kepentingan hidup manusia di mana saja manusia hidup.

22)  Pembentukan hukum memerlukan adanya tahapan sehingga manusia tidak merasa kaget dan tidak merasa berat. Misalnya, proses keharaman khamar.

  1. Kaidah berhubungan dengan Naskh

القَطْعِيُّ لاَ يَنْسَخَهُ الظَّنُّ

Artinya : “Dalil qath’I tidak dapat dihapus dnegan dalil zanni.”

 

 

 

 

 

 

  1. Pengertian Amar       ( َاْلاَمْرُ )

الاَمْرُ طَلَبُ الْفِعْلِ مِنَ الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى

“Amar adalah perkataan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yang lebih rendah.”

  1. Bentuk-Bentuk Amar dan Contohnya
    1. Fi’il Amar
    2. Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar : ولتكن
    3. Isim Fi’il Amar
    4. Isim Masdar pengganti fi’il
    5. misal kata :    $ZR$|¡ômÎ)  = berbuat baiklah
    6. Kalimat Berita (Kalam Khabar) bermakna Insya
    7. Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah

أَمَرَ,فَرَضَ, كَتَبَ, وَجَبَ

  1. Kaidah-Kaidah Amar dan Maknanya
    1. Kaidah pertama

الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لِلْوُجُوْبِ

“Pada dasarnya perintah itu menunjukkan wajib.”

  1. Kaidah Kedua : Perulangan dalam Suruhan

1)      Pada prinsipnya Amar (perintah) tidak menghendaki berulang-ulang

الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى التِكْرَار

“Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki berulang-ulangnya pekerjaan yang dituntut.”

2)      Amar (perintah) itu menghendaki berulang-ulang

الاَصْلُ فِى الاَمْرِ يَقْتَضِى التِكْرَار مُدَّةَ العُمْرِ مَعَ الاِمْكَانِ

 “Pada dasarnya perintah itu menghendaki berulang-ulangnya perbuatan yang diminta selagi masih ada kesanggupan selama hidup.”

  1. Kaidah Ketiga

الاَمْرُبِالشَّيْئِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ

“Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga perintah mengerjakan wasilahnya / perantara.”

 

  1. Kaidah Keempat

الاَصْلُ فِى الاَمْرِ لاَ يَقْتَضِى الفَوْرَ

“Pada dasarnya perintah (Amar) itu tidak menuntut dilaksanakan segera.”

  1. Kaidah Kelima

الاَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُعِيْدُ الابَاحَةِ

“Perintah sesudah larangan menunjukkan kebolehan.”

 

  1. 4.      Pengertian Nahi (larangan)

النَهْيُ هُوَ طَلَبُ التَّرْكِ مِنَ الاَعْلَى اِلَى الاَدْنَى

“Larangan ialah tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah tingkatannya.”

  1. Bentuk-Bentuk Nahi
    1. Fi’il Mudhari yang didahului dengan “la nahiah” / lam nahi = janganlah
    2. Lafadz-lafadz lain yang memberikan pengertian haram atau perintah meninggalkan perbuatan / suatu larangan.
    3. Kaidah-Kaidah Nahi dan Maknanya
      1. Kaidah Pertama

الاَصْلُ فِى النَهْيِ لِلتَحْرِيْمِ

“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram.”

  1. Kaidah Kedua

الاَصْلُ فِى النَهْيِ المُطْلَقْ يَقْتَضِى التِكْرَارَى فِى جَمِيْعِ الاَزْمِنَةِ

“Pada dasarnya larangan mutlaq itu menghendaki pengulangan dalam segala zaman.”

 

  1. Kaidah Ketiga

النَهْيُ عَنْ شَيْئٍ اَمْرٌ بِضِدِهِ

“Melarang dari sesuatu itu berarti memerintahkan sesuatu yang menjadi kebalikannya.”

  1. Kaidah Keempat

النَهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ المُنْهِىِّ عَنْهُ

“Pada dasarnya larangan itu menunjukkan perbuatan yang dilarang (baik ibadah maupun mu’amalah).”

  1. 7.      Al ‘Am (العَامُ ) secara bahasa berarti umum, merata, menyeluruh, sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih :
  2. Kaidah ‘Am

عُمُوْمُ العَّامِ سُمُوْلِيٌّ وَ عُمُوْمُ المُطْلَقِ بَدَلِيٌّ

Artinya : “Keumuman ‘am itu bersifat menyeluruh  sedangkan keumuman mutlaq itu bersifat mengganti / mewakili.”

 

  1. 9.      Pengertian Khash menurut istilah Ushul Fiqih :

الخَصُّ هُوَ اللَفْظُ الذِى يَدُلُّ عَلَى مَعْنًا وَاحِدًا

Artinya : “Lafadz yang menunjukkan satu makna tertentu.”

  1. Mutlaq menurut bahasa berarti lepas tidak terikat, adapun menurut istilah berarti suatu lafadz tertentu yang tidak terikat yang dapat mempersempit keluasan artinya.
  2. Muqayyad menurut bahasa berarti terikat. Menurut istilah adalah suatu lafadz tertentu yang terikat oleh lafadz lain yang dapat mempersempit keluasan artinya.
  3. Nash Al-Qur’an atau As-Sunnah disebutkan dengan lafadz mutlaq, sedangkan di tempat lain disebutkan dengan bentuk muqayyad,
  4. Kaidah yang berhubungan dengan Mutlaq dan Muqayyad

 

المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى اِطْلاَقِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى تَقْيِيْدِهِ

 Artinya : “Hukum mutlaq ditetapkan berdasarkan kemutlakannya sebelum ada dalil yang membatasinya.”

المُقَيَّدُ بَاقٍ عَلَى تَقْيِيْدِهِ مَا لَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى اِطْلاَقِهِ

Artinya : “Hukum muqayyad tetap dihukumi muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.”

  1. Mantuq secara bahasa berarti yang diucapkan, secara istilah ialah suatu makna yang ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri (menurut ucapannya). Mantuq bermakna tekstual / yang tersirat.
  2. Mafhum menurut bahasa artinya dipahami, sedangkan menurut istilah suatu makna yang tidak ditunjukkan oleh bunyi lafadz itu sendiri, tetapi menurut pemahaman terhadap ucapan lafadz tersebut. Mafhum bermakna kontekstual (yang tersirat) apabila suatu hal atau hukum diambil berdasarkan pemahaman terhadap suatu ucapan maka dinamakan mafhum. .
  3. Mafhum dibagi menjadi dua yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah.
  4. Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi 2 macam

1)            Fahwal Khitab.

2)            Lahnal khitab.

  1. Mafhum Mukhalafah, terdiri dari enam, macam :

1)      Mafhum sifat,

2)      Mafhum syarat,

3)      Mafhum ‘adad (bilangan),

4)      Mafhum Ghayah (batas),.

5)      Mafhum Hashr (pembatas/penyingkat) itu.

6)      Mafhum Laqab

 

  1. Mujmal ialah lafadz yang belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan.
  2. Mubayyan ialah lafadz yang jelas makna dan  maksudnya, tanpa memerlukan keterangan lain untuk menjelaskannya.
  3. Macam-Macam Bayan
    1. Bayan dengan perkataan,
    2. Bayan dengan perbuatan,
    3. Bayan dengan isyarat.
    4. Bayan dengan diam setelah ada pertanyaan,.
    5. Bayan dengan meninggalkan perbuatan,
    6. Kaidah terkait dengan Mujmal dan Mubayyan

تَأْخِيْرُ البَيَانِ عَنْ وَقْتِ الحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ

Artinya : “Mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan tidak dibolehkan.”

 

  1. Muradif ialah beberapa lafadz yang menunjukkan satu arti.
  2. Zahir menurut bahasa berarti jelas, sedangkan menurut istilah ialah suatu lafadz yang jelas, lafadznya menunjukkan kepada suatu arti tanpa memerlukan
  3. Takwil menurut istilah adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan berdasarkan dalil/bukti, sehingga menjadi lebih jelas.
  4. Kaidah berhubungan dengan Takwil

الفُرُوْعُ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ اتِّفَاقًا

Artinya : “Masalah cabang (furu’) dapat dimasuki takwil berdasarkan konsensus.”

الاُصُوْلُ لاَ يَدْخُلُهُ التَّأْوِيْلُ

Artinya : “Masalah ushuluddin (akidah) tidak dapat menerima takwil.”

 

  1. Nasikh menurut bahasa dari kata نَسَخَ berarti menghapus, memindahkan atau membatalkan, sedangkan menurut istilah ushul fiqih ialah

النَّسْحُ هُوَ رُفِعَ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ عَنِ المَكَلَّفِ بِحُكْمٍ شَرْعِىٍّ مِثْلِهِ مُتَأَخِرِ

Artinya : “menghapus hukum syara’ yang ditetapkan terdahulu dengan hukum syara’ yang datang kemudian.” .

Yang membatalkan disebut nasikh dan yang dibatalkan disebut mansukh.

 

  1. Macam-macam Nasakh
    1. QS. Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
    2. Sunnah dengan Al-Qur’an
    3. Sunnah dengan Sunnah
    4. 29.  Kaidah berhubungan dengan Naskh

القَطْعِيُّ لاَ يَنْسَخَهُ الظَّنُّ

Artinya : “Dalil qath’I tidak dapat dihapus dnegan dalil zanni.”

 

 

 

 

KAMUS ISTILAH

 

 

1. Dalalah        : petunjuk

2. Kaidah           : rumusan yang menjadi dasar hukum, aturan yang sudah pasti

3. Tersirat        : tersimpul, tersembunyi

4. Muskil         : tidak jelas

5. Sigat             : ucapan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berilah tanda silang pada jawaban yang benar (X) diantara huruf  a, b, c, d atau e!

 

  1. Suatu lafadz menjadi mujmal dikarenakan …
    1. memiliki lebih dari satu pengertian
    2. dipindah makna bahasa kepada makna khusus
    3. memiliki satu pengertian
    4. bersifat umum
    5. a dan b benar
    6. Bila ada lafadz mujmal sedang tidak ada keterangan dari syara’ maka hukumnya …
      1. tawakkuf
      2. diambil salah satu
      3. ditarjih
      4. dipakai semuanya
      5. semuanya benar
      6. Kalimat   تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ    dalam bahasa Arab adalah …
        1. mujmal
        2. bayyan
        3. ijmal
        4. mutlak
        5. muqayyad
        6. Muradif sama artinya dengan …
          1. sinonim
          2. antinim
          3. majaz
          4. metafora
          5. denotatif
          6. Beberapa lafadz yang memiliki arti yang sama adalah …
            1. muradif
            2. musytarak
            3. mujmal
            4. mubayyan
            5. mutlaq
            6. Perbedaan pendapat dalam maslah lafadz muradif terjadi dalam hal …
              1. istinbat hukum
              2. penggunaannya dalam bacaan shalat
              3. penggunaanya dalam dzikir
              4. kehujjahannya
              5. b dan c benar
              6. Bila ada lafadz musytarak tanpa adanya penjelasan mana yang dikehendaki oleh syara’ maka …
                1. ditarjih
                2. dinasakh
                3. ditinggalkan (Tawaquf)
                4. digunakan semuanya
                5. dita’wil
                6. Lafadz   يَسْجُدُ    (bersujud) adalah musytarak karena memiliki dua pengertian yaitu
                  1. sujud dan shalat
                  2. meletakkan dahi diatas bumi dan tunduk
                  3. shalat dan ibadah
                  4. tunduk dan patuh
                  5. tunduk dan beribadah
                  6. Dzahir dalam istilah fuqaha adalah …
                    1. lafadz yang mengandung pengertian hakiki
                    2. lafadz yang mengandung pengertian majas
                    3. lafadz yang tertuju pada dua makna tetapi lebih berat menuju kepada salah satunya yang lebih jelas
                    4. lafadz yang memiliki arti yang jauh
                    5. lafadz yang memiliki lebih dari satu pengertian
                  7. Ta’wil menurut istilah adalah …
                    1. memalingkan lafadz dari makna majas menuju makna haqiqi
                    2. menafsirkan makna lafadz supaya lebih jelas
                    3. membelokkan lafadz dari makna dhahir kepada makna lain
                    4. penggunaan lafadz dari makna khusus menjadi makna umum
                    5. sama dengan  pengertian tafsir

 

II. Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan jelas ?

  1. Sebutkan kaidah-kaidah amar dan contohnya
  2. Sebutkan contoh contoh lafadz khas
  3. Berikan contoh lafadz muqoyyad
  4. Jelaskan perbedaan mutlaq dan muqoyyad
  5. Bedakan antara nasikh dan mansukh

 

  1. TUGAS Individu

Isilah kolom di bawah ini dengan benar!

No

Kaidah Ushul Fiqih

Contoh ayat / hadits

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Amar

Nahi

‘Am

Khash

Mutlaq

Muqayyad

Muradif

Musytarak

Zahir

Ta’wil

   

 

  1. TUGAS Kelompok

Diskusikan dengan temanmu kemudian tulislah hasilnya!

  1. 5 Ayat Al-Qur’an yang berbentuk Amr
  2. 5 Ayat Al-Qur’an yang berbentuk Nahi
  3. 5 Ayat / hadits nasikh dan mansukh
  4. 5 Ayat / hadits yang berbentuk mantuq
  5. 5 Ayat / hadits yang berbentuk mafhum

Al Ahkam Asy Syar’iyah

August 13, 2011

Memahami hukum-hukum syar’i

Menjelaskan tentang hukum taklifi dan penerapannya dalam Islam

TANBIH

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُواْ بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُواْ فَرِيقاً مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿١٨٨﴾

Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui. (Q.S al Baqarah/2:188)

IFTITAH

Manusia membutuhkan pedoman atau panduan untuk mengatur tata laku kehidupannya. Pedoman itu menentukan perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Sebagai umat Islam, pedoman itu kita dapat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita wajib mentaatinya. Al-Qur’an adalah sumber pokok hukum Islam yang pertama dan As-Sunnah berfungsi untuk memperkuat, memperjelas dan menetapkan yang belum disebut dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW menjadi uswatun hasanah bagi kita.
Al-Qur’an mengandung hukum-hukum yang kebanyakan bersifat universal. Hukum suatu masalah kadang berada di beberapa surat dan ayat yang berbeda. Misalnya, hukum pernikahan terdapat pada surat Al-Baqarah, surat Ath-Thalaq dan lain-lain sehingga kadang hukum-hukum dalam Al-Qur’an tidak mudah dipahami.
Ketika nabi Muhammad SAW masih ada, setiap muncul masalah baru atau para sahabat kesulitan mamahami kandungan Al-Qur’an, mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Begitu juga pada masa sahabat dan tabiin, hal itu masih mudah dilakukan.
Ketika Islam sudah tersiar keluar negara Arab, tidak semua orang dengan mudah memahami Bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sinilah Islam memberi ruang bagi akal manusia untuk menafsirkannya. Beruntunglah kita pada awal abad pertama banyak fatwa Imam Abu Hanifah (80-150 H) tentang kaidah-kaidah memahami ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah
Salah seorang muridnya yang bernama Abu Yusuf pernah mencatatkan fatwa-fatwa itu yang kemudian dikenal sebagai aggaran Ushul Fiqih. Pada abad kedua, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (150-204H) termasyhur sebagai yang pertama menyusun Ushul Fiqih secara sempurna. Catatan-catatan itu sampai sekarang tetap terpelihara dalam kitab Ar-Risalah. Sehingga meskipun muncul masalah baru yang belum ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kita akan lebih mudah menentukannya untuk kemaslahatan kehidupan manusia. Pada bab ini kita akan membahas tentang hukum syar’i yang berisi tentang hukum taklif, wadh’i, mahkum bihi dan mahkum ‘alaih. Silahkan disimak dengan seksama.

A. Pengertian Hukum Syar’i

Pengertian secara bahasa adalah :
اِثْباَتُ شَيءٍ الِىَ شَيءٍ
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.”
Syar’i atau syari’at dari segi bahasa berarti jalan, sedangkan menurut istilah Ahli Ushul Fiqih, hukum ialah :
خِطَابُ اللهِ اْلمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوْ تَخْيِيْرًا اَوْ وَضْعًا
“Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan )suruhan, larangan( atau takhyir (pilihan mengerjakan atau meninggalkan), atau wadh’i (menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum.)”
Berdasar definisi ini,Ulama Ushul Fiqih membagi hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi (thalaban wa takhyiran) dan wadh’i.
1. Hukum Taklifi
Pengertian hukum taklifi adalah :
مَا اقْتَضَاه خِطَابُ الشَرْعِ المُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ المُكَلِّفِيْنَ مِنْ طَلَبٍ اَوْ تَخيِيْرٍ ( بَيْنَ الفِعْلِ وَالتَّرْكِ عَنْهُ )
“Hukum yang menetapkan tuntutan melakukan sesuatu, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, atau pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu, kepada seorang mukallaf.”
Maka hukum taklifi ada tiga yakni 1) tuntutan melakukan, 2) tuntutan meninggalkan, 3) pilihan: melakukan atau meninggalkan
Contoh hukum taklifi:
1. Tuntutan mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al-Baqarah : 183.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)

2. Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan : Berkata tidak sopan kepada orang tua.
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
3. Tuntutan memilih: mengerjakan atau meninggalkan perbuatan : Mengqashar shalat ketika bepergian jauh : QS. An-Nisa : 101.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا…
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir” (QS An-Nisa’/4 : 101)

Bila dikaitkan dengan tegas atau tidaknya titah Allah, Ulama Ushul Fiqih membedakan tiga macam hukum taklifi diatas menjadi lima (5) macam hukum:
a. Iijab: Kalau titah Allah itu tegas menuntut untuk melakukan. Sedang hukum melakukan perbuatan itu menjadi wajib.
Definisi ijab adalah
الإِيْجَابُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى الفِعْلَ اِقْتِضَاءً جَازِمًا
“Al Ijab ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta melakukan sesuatu sebagai suatu keharusan.”
Konsekuensi hukum wajib adalah pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi yang meninggalkannya. Contoh hukum wajib adalah shalat, puasa Ramadhan, membayar zakat, menunaikan ibadah haji bagi yang mampu, berbakti kepada kedua orangtua, dan lain sebagainya. Semua perintah tersebut hukumnya pasti dan tegas.
Seperti firman Allah SWT. :
وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئاً … ﴿٣٦﴾

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (QS. An-Nisa’/4:36)
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى ﴿١﴾
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,(QS. Al-‘Alaq/87 : 1)
Hukum wajib dibagi menjadi beberapa macam :
1) Dilihat dari segi waktu pelaksanaannya, wajib ada 2 macam, yaitu :
a) Wajib muwaqqat, yaitu kewajiban yang ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya, seperti shalat fardhu yang lima waktu, kapan mulai dan berakhirnya waktu sudah ditentukan.
b) Wajib muwassa’, yaitu waktu untuk melaksanakan kewajiban memmpunyai waktu yang luas. Seperti waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur kurang lebih 3 jam, tetapi waktu yang diperlukan untuk melakukan sholat tersebut cukup 5-10 menit saja.
c) Wajib mudhoyaq, yaitu waktu yang disediakan untuk melaksanakan untuk melaksanakan kewajiban sangat terbatas. Seperti puasa Ramadhan lamanya 1 bulan.
d) Wajib mutlak, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas waktu untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban membayar kifarat bagi orang yang melanggar sumpah.
2) Dilihat dari segi orang yang dituntut mengerjakan, wajib dibagi sebagai berikut.
a) Wajib ‘Ain, artinya kewajiban yang harus dikerjakan tiap-tiap mukallaf. Seperti : shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
b) Wajib kifayah, artinya kewajiban yang boleh dilakukan oleh sebagian mukallaf (boleh diwakili oleh kelompok tertentu).
Contoh : mengurus jenazah, menjawab salam, dan lain-lain.
3) Dilihat dari segi kadar (ukuran kuantitasnya) wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan kadarnya.
Contoh : jumlah rakaat dalam shalat, jumlah besarnya zakat.
b) Wajib ghoiru muhaddad, yaitu kewajiban yang belum ditentukan kadarnya.
Contoh : infaq, tolong menolong, dan shodaqoh.
4) Dilihat dari segi tertentu atau tidaknya yang diwajibkan, wajib dibagi menjadi berikut ini.
a) Wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang telah ditentukan jenis perbuatannya.
Contoh : shalat, puasa, zakat fitrah.
b) Wajib mukhoyyar, yaitu wajib tetapi boleh memilih di antara beberapa pilihan.
Contoh : Kifarat bagi orang yang berkumpul suami istri di siang hari Ramadhan boleh memilih memerdekakan budak, bila tidak mampu maka berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak mampu berpuasa maka memberi makan 60 fakir miskin.
b. Nadb : Kalau titah Allah itu tidak tegas menuntut untuk melakukan. Sedang hukum melakukan perbuatan itu disebut mandub atau masnunah.
Defisnisi Nadb
النَّدْبُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى الفِعْلَ اِقْتِضَاءً غَيْرُ جَازِمٍ
“An nadbu ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta melakukan sesuatu perbuatan tetapi bukan suatu keharusan.”
Konsekuensi Sunah mendatangkan pahala bagi pelakunya, tetapi tidak mendatangkan dosa dan siksa bagi yang meninggalkannya. Dengan istilah lain sunah terpuji jika dikerjakan dan tidak tercela jika ditinggalkan. Istilah Sunah/sunat dalam istilah Ulama’ ushul fiqih disebut juga mandub, nafilah, tathawwu’, mustahab, dan ihsan.
Umpamanya, firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ…
“Apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya.” (QS Al-Baqarah/2 : 282)
Hukum sunah/sunat dibagi menjadi 2 macam :
1. Sunah muakkad, artinya perintah melakukan perbuatan yang sangat dianjurkan (sangat penting)
2. Sunah ghoiru muakkad, artinya sunah yang tidak begitu penting (kurang dianjurkan).

c. Tahrim : Kalau titah Allah itu tegas menuntut untuk meninggalkan. Sedang hukum mengerjakan perbuatan itu dinamakan haram. Definisi Tahrim adalah :
التَّحْريْمُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى التَّرْكَ اِقْتِضَاءً جَازِمًا
“Al Tahrim ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta meninggalkan sesuatu perbuatan sebagai suatu keharusan.
Konsekuensi dari hukum haram adalah seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan, sementara bagi yang meninggalkan akan mendapat pahala dan kemuliaan.
Umpamanya, firman Allah SWT :

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيماً ﴿٢٣﴾
“Janganlah kamu mencibirkan ibu bapakmu (mengatakan cis kepada ibu bapakmu)” QS Al-Isra’/17 :23
Contoh lainnya :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“katakanlah saku tidak mendapati pada apa yang diwahyukan kepada sesuatu yang haram bagi orang yang memakannya kecuali bila hal itu bangkai, darah mengalir, daging babi, karena hal itu adalah keji/kotor dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah. (Q.S Al-An’am /6: 145.

d. Karahah : Kalau titah Allah itu tidak tegas menuntut untuk meninggalkan. Sedang hukum mengerjakan perbuatan itu dinamakan makruh. Definisi Karahah adalah :
الكَرَهةُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يَقْتَضِى التَّرْكَ اِقْتِضَاءً غَيْرُ جَازِمٍ
“Al Karahah ialah khitab/firman Allah SWT yang meminta meninggalkan sesuatu perbuatan yang bukan sebagai keharusan.”
Misalnya saja pada ayat berikut ini :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ…
“Apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS Al-Jumu’ah/62 : 9)

e. Ibahah : titah Allah yang bersifat memberikan pilihan antara melakukan atau meninggalkan, sedangkan perbuatannya dinamakan mubah. Disebut juga dengan halal atau ja’z. Definisi ibahah adalah :
الابَاحَةُ : وَ هُوَ خِطَابُ اللهِ تَعَالى يُخَيِّرُ بَيْنَ الفِعْلِ وَ التَّرْكِ
“Al Ibahah ialah khitab/firman Allah yang membolehkan memilih di antara melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan.”
Mubah tidak berpahala jika dikerjakan dan tidak pula berdosa jika ditinggalkan.
Umpamanya firman Allah :
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.” (QS Al-Baqarah/2 : 235)

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Ápabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah di muka bumi, dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS Al-Jumu’ah /62: 10)

2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum. Melihat kepada pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahawa hukum wadh’i itu terdiri dari tiga macam, yaitu :
a. Sebab
Yaitu sesuatu yang jelas adanya mengakibatkan adanya hukum, sebaliknya tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum. Contohnya, perbuatan zina mengakibatkan adanya hukum dera.
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ …
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” (QS an-Nur/24 : 2)

Contoh lain, membunuh orang yang tidak berdosa dengan sengaja menjadi sebab berlakunya hukum qishah; adanya perkawinan menjadi sebab berlakunya hukum waris bagi suami atau istri bila salah satunya meninggal dunia; tergelincirnya matahari menjadi sebab adanya kewajiban shalat dzuhur; melihat bulan tanggal 1 Ramadhan menjadi sebab diwajibkannya puasa Ramadhan, dll.

b. Syarat
yaitu sesuatu yang harus ada sebelum ada hukum, karena adanya hukum bergantung kepadanya. Tidak adanya “syarat” mengakibatkan tidak ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak mesti ada hukum. Contohnya, berwudhu merupakan syarat sahnya shalat. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ …
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu samai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan basuhlah kakimu sampai dua mata kaki.” (QS Al-Maidah/5 : 6)
Tidak ada wudhu berarti tidak ada shalat, akan tetapi adanya wudhu tidak mesti ada shalat, karena seseorang melakukan wudhu itu mungkin untuk keperluan membaca al-Qur’an, hendak belajar, bekerja, dll.
Contoh lain, kemampuan melakukan perjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seorang mukallaf.
Antara “sebab” dengan “syarat” memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah tidak ada “sebab” mengakibatkan tidak adanya hukum. Sama halnya apabila tidak ada “syarat”, hukum pun tidak ada. Sementara itu perbedaannya adalah dengan adanya “sebab” harus ada hukum, akan tetapi, dengan adanya “syarat” tidak harus ada hukum.
c. Mani’ (Penghalang)
Yaitu sesuatu yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum. Meskipun sebab telah ada, dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang semestinya bisa diberlakukan menjadi tidak bisa diberlakukan.
Contohnya, apabila seseorang mempunyai keluarga / kerabat sebagai ahli waris. Akan tetapi, apabila keduanya berlainan agama, maka keduanya tidak berhak saling mewarisi. Hal ini karena berlainan agama menjadi mani’ atau penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan harta peninggalan.
Sabda Rasulullah SAW :
لاَ يَرِثُ المُسْلِمُ الكَافِرَ وَ لاَ يَرِثُ الكَافِرُ المُسْلِمَ
“Tidak mewarisi orang Islam atas harta waris orang kafir, dan sebaliknya rang kafir tida mewarisi atas harta orang Islam.” (HR Jama’ah)

Contoh lain, pembunuhan yang dilakukan oleh seorang ahli waris terhadap muwarris, menjadi penghalang bagi keduanya untuk saling mewarisi, haid bagi seorang perempuan menjadi penghalang kewajiban sholat, najis pada pakaian menghalangi sahnya shalat, dll.

Selain tiga hal di atas, di kalangan Ulama Ushul Fiqih juga memasukkan shah (shahih), batal, azimah dan rukhsoh dalam hukum wadh’i.
Suatu perbuatan dikatakan shah (shahih) secara hukum apabila telah dilaksanakan sesuai syarat, rukun dan wajibnya. Misalnya , pernikahan dikatakan shah apabila telah memenuhi syarat-syarat rukun-wajib nikah. Amal ibadah yang shah (shahih)lah yang diharapkan ada pahala dari Allah SWT.
Suatu perbuatan dikatakan batal apabila tidak memenuhi ketentuan syara’ baik syarat, rukun dan wajibnya. Misalnya, pernikahan dilaksanakan tanpa menghadirkan calon mempelai laki-laki, maka pernikahan itu disebut batal di sisi hukum.
Azimah adalah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi seluruh mukallaf, dalam semua keadaan dan waktu. Misalnya, puasa wajib pada bulan Ramadhan, sholat fardhu lima waktu sehari semalam dan lain sebagainya.
Adapun rukhsoh adalah peraturan tambahan yang ditetapkan Allah SWT sebagai keringanan karena ada hal-hal yang memberatkan mukallaf sebagai pengecualian dari hukum-hukum yang pokok.
Pembagian Rukhsah
Rukhsah terbagi menjadi 4 macam.
a) Dibolehkannya melakukan sesuatu yang seharusnya diharamkan. Hal ini dilakukan karena dalam keadaan darurat.al baqarah:173/an nahl:115
Contoh :

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”albaqarah: 173
b) Diperbolehkan meninggalkan hal-hal yang diwajibkan, apabila ada udzur yang bersifat dibolehkan secara syar’i.
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”(Q.s al Baqarah/2:184)

c) Menganggap sah sebagian aqad-aqad yang tidak memenuhi syarat tetapi sudah biasa berlaku di masyarakat. Contohnya jual beli salam (jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu terjadi aqad jual beli / sistem pesanan).
d) Tidak berlakunya (pembatalan) hukum-hukum yang berlaku bagi umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW. Contoh : memotong bagian kain yang terkena najis, mengeluarkan zakat ¼ dari jumlah harta, tidak boleh melakukan sholat selain di masjid. Sebagaimana firman Allah :
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا الاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS Al Baqarah/2 : 286)

A. Unsur-Unsur Hukum Islam
1. Mahkum Bihi / Mahkum Fihi (مَحْكُوم بِهِ \ مَحْكُوم فِيْه ِ)
a. Pengertian Mahkum Bihi / Mahkum fihi
المَحْكُومُ فِيْهِ : هُوَ الفِعْلُ الُمكَلَّفِ الَّذِى تَعَلَّقَ بِهِ حُكْمُ اللهِ
“Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).”
Para ahli Ushul Fiqih menyebutnya dengan Ahkamul Khomsah (hukum yang lima) yaitu:
1. Yang berhubungan dengan ijab dinamai wajib.
2. Yang berhubungan dengan nadb dinamai mandub/ sunat
3. Yang berhubungan dengan tahrim dinamai haram
4. Yang berhubungan dengan karahah dinamai makruh
5. Yang berhubungan dengan ibahah dinamai mubah.
Secara lengkap sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Contoh firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS al-Baqoroh/2 : 183)
Firman Allah SWT di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf yaitu berpuasa, status hukumnya adalah wajib.
Contoh lain, firman Allah SWT :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sesungguhnya zina itu merupakan perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS Al-Isra’/17 : 32)
Firman Allah di atas berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu mendekati zina. Status hukumnya adalah haram.
b. Syarat-syarat Mahkum bihi
Syarat-syarat mahkum bihi / fihi adalah sebagai berikut.
a) Hendaknya perbuatan itu diketahui dengan jelas oleh orang mukallaf sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai dengan tuntutan syara’.
b) Hendaknya perbuatan itu dapat diketahui oleh orang mukallaf bahwa benar-benar berasal dari Allah SWT sehingga dalam mengerjakannya ada kehendak dan rasa taat kepada Allah SWT.
c) Taklif / perbuatan itu merupakan sesuatu yang mungkin terjadi atau dapat dilakukan oleh mukallaf sesuai kadar kemampuannya. Karena tidak ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil atau tidak mungkin terlaksana. Misalnya, tidak mungkin manusia diperintahkan untuk terbang seperti burung.
d) Taklif / perbuatan itu dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lainnya, supaya dapat ditunjukkan atau ditentukan niatnya secara tepat.

2. Mahkum ‘Alaih
a. Pengertian Mafkum ‘Alaih ((مَحْكُوْم عَلَيْهِ
Mahkum alaihi adalah orang mukallaf(المحكوم عليه وهوالمكلف) yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, Allah SWT memerintahkan shalat, puasa, larangan zakat berbakti kepada orangtua, menjauhi zina, larangan minum-minuman keras, dll.
Perintah-perintah tersebut ditujukan kepada orang mukallaf, dan bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang yang terganggu pikirannya atau gila. Perintah dan larangan Allah SWT selalu disesuaikan dengan kemampuan manusia. Semua hukum baik yang menyangkut hak-hak Allah SWT maupun hak-hak manusia tidak dibebankan kecuali kepada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, kemampuan menjadi dasar adanya taklif/tuntutan. Allah SWT berfirman :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا …
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS al-Baqarah/2 : 286).

b. Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf).
Syarat-syarat mahkum ‘alaih (mukallaf) adalah :
1) Mukallaf adalah orang yang mampu memahami dalil taklif baik itu berupa nash Al-Qur’an atau As-Sunnah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif maka ia tidak dapat melaksanakan dengan benar apa yang diperintahkan kepadanya. Dan alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Maka orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan mukallaf.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّي يَستَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّي يَحْتَلِمَ وَعَنِ اْلمَجْنُوْنِ حَتَّي يُفِيْقَ.
)روه أبواود النسائ(
2) Mukallaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Yang dimaksud dengan ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar dan pantas untuk menerima perintah tersebut.
3) Mukalaf adalah orang yang melaksanakan taklif/tuntutan khitab Allah SWT dengan sempurna sesuai dengan kemampuannya. Yaitu orang tersebut selain sudah baligh juga dalam keadaan sehat akalnya.
Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
1) Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tapi tidak layak menerima kewajiban. Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima harta pusaka dan bisa menerima wasiat, tapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban. Ada kalanya mukallaf tidak sanggup mengerjakan hukum-hukum yang sudah dibebankan kepadanya. Keadaan yang menghalanginya menunaikan hak dan kewajiban yang sudah ditetapkannya ini disebut ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). Para ulama ushul fiqih menggolongkan ‘awarid al-ahliyah (penghalang keahlian). ini menjadi dua kelompok.
(1) Penghalang samawi, yaitu penghalang yang tidak bisa dihindari oleh mahkum alaih. Ia hadir dengan sendirinya tanpa dikehendaki. Misalnya, gila, kurang akal (idiot), lupa, tertidur, dan pingsan. Orang-orang yang terkena penghalang samawi seperti ini dihukumi sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan sama sekali untuk melakukan hak dan kewajiban.
(2) Penghalang kasby, yaitu penghalang yang terjadi lantaran perbuatan manusia itu sendiri seperti mabuk, bodoh, banyak hutang, boros, dan sebagainya. Penghalang kasby dapat dihindari dengan usaha manusia itu sendiri.
2) Belum sempurna, ia dapat melaksanakan perintah Allah SWT tetapi belum mempunyai kewajiban, yaitu bagi anak-anak mumayyiz (anak yang sudah dapat membedakan baik dan buruk perbuatan) tetapi belum baligh.
3) Sempurna, apabila sudah menerima hak dan layak baginya melakukan kewajiban, yaitu bagi orang yang sudah dewasa dan berakal sehat (mukallaf).

1. Pengertian Hukum Syar’i secara bahasa adalah :
ِاثْباَ تُ شَيءٍالِىَ شَيءٍ
“Menetapkan sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.”
menurut istilah Ahli Ushul Fiqih, hukum ialah :
خِطَابَ اللهِ اْلمُتَعَلِّقُ بِاءَفْعَا لِ الْمُكَلِّفِيْنَ طَلَبًا اَوْتَخْيِيْرًااَوْوَضْعًا
“Khitab (titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan suruhan, larangan atau menerangkan kebolehan sesuatu, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum.”
2. Hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan wadh’i.
3. Hukum Taklif adalah Hukum yang menetapkan tuntutan terhadap seorang mukallaf untuk melakukan sesuatu, atau tuntutan untuk meninggalkan sesuatu, atau membolehkan memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu.Sehingga hukum taklifi adalah wajib, sunah, mubah, haram dan makruh
4. Hukum Wadh’I yaitu hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, dan penghalang untuk berlakunya suatu hukum.
5. Selain hal di atas, di kalangan Ulama Ushul Fiqih juga dikenal istilah shah (shahih), batal, azimah dan rukhsoh.
6. Unsur-unsur hukum islam meliputi :
c. Mahkum fiihi adalah perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum Allah (hukum syara’).”
d. Mahkum alaihi adalah orang mukallaf yang mendapatkan khitab/ perintah Allah SWT dan perbuatan itu berhubungan dengan hukum syara’.

KAMUS ISTILAH
1. Mukallaf : orang yang telah dewasa dan berakal
2. Mandub : Sunah
3. Shahih : shah atau benar
4. Rukhshoh : keringanan
5. Ahkamul khomsah : lima hukum islam (wajib, sunah, boleh ,makruh, haram)

I. Berilah tanda silang (X pada jawaban yang benar diantara huruf a, b, c, d atau e !
1. Khitab Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang mengandung tuntutan baik suruhan atau larangan disebut …..
a. Hukum taklifi
b. Hukum wadh’i
c. Hukum alam
d. Tidak menyulitkan
e. Menyedikitkan beban

2. Ayat dibawah ini yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an menjadi sumber hukum Islam yang utama adalah …..
a. ونتزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين
b. يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر
c. وهذا كتاب انزلناه مبارك فاتبعوه واتقوا لعلكم ترحمون
d. اقيموا الصلاة واتوا الزكاة
e وانه لهدى ورحمة للمؤمنين
3. هي ما صدر عن رسول الله ص.م قول او فعل او تقرير
Ta’rif tersebut diatas adalah pengertian dari …..
a. As-Sunah
b. Al-Qur’an
c. Hadits qudsi
d. Qoul sahabat
e. Bid’ah
4. Al-Ijab, An-Nadbu, At-Tahrim, Al-Karahah dan Al-Ibahah disebut ….
a. Hukum alam
b. Hukum Islam
c. Al-Ahkamul Khamsah
d. Al-Ahkamul Sunah
e. Hukum Rasul

5. As-Sunah, dalam pengertian bahasa berarti …..
a. Jalan yang ditempuh
b. Lawan kata bid’ah
c. Jalan yang sudah biasa
d. Sesuatu yang dilakukan sahabat
e. Jawaban a, b, c dan d semua benar
6. Sumber pelengkap dalam hukum Islam adalah …..
a. Hadits qudsi
b. Ijma’
c. Ro’yu
d. Qiyas
e. Urf
7. Untuk meninggalkan sesuatu, atau membolehkan memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu hukum yang menetapkan hukum/ tuntutan terhadap orang mukallaf untuk melakukan sesuatu atau tuntutan disebut …..
a. Taklifi
b. Mahkum bihi
c. Mani’
d. Wad’i
e. Mahkum ‘alaih
8. Hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang untuk berlakunya sesuatu hukum disebut …..
a. Taklifi
b. Mahkumbihi
c. Mani’
d. Wad’i
e. Mahkum ‘alaih
9. Perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’ disebut …..
a. Taklifi
b. mahkum bihi
c. Mani’
d. Wad’i
e. Mahkum ‘alaih
10. Amal perbuatan orang mukallaf yang menjadi tempat berlakunya hukum Allah adalah …..
a. Taklifi
b. Mahkum bihi
c. Mani’
d. Wad’i
e. Mahkum ‘alaih

II. Jawablah pertanyaan ini dengan jelas
1. Sebutkan macam-macam hukum taklifi !
2. Jelaskan pengertian hukum wad’i dan sebutkan macam-macam hukum wad’i !
3. Tuliskan contoh ayat tentang hukum bihi !
4. Jelaskan syarat-syarat hukum bihi !
5. Tuliskan contoh ayat tentang mahkum ‘alaih !
A. Tugas Individu
Tugas I
Macam-macam Hukum Taklifi Contoh Ayat Maksud/Kandungan Ayat
1. Ijab ……………………………….. ………………………………..
2. ………………………… وَلاَ تَقُلْ لَهُمَا اُفٍّ ………………………………..
3. ………………………… ……………………………….. ………………………………..
4. ………………………… ……………………………….. ………………………………..
5. ………………………… ……………………………….. Boleh beraktifitas kembali setelah shalat jum’at

Tugas II
Tulislah dan hafalkanlah :
1. 5 Ayat Al-Qur’an berisi perintah wajib Allah untuk manusia beriman !
2. 5 Ayat Al-Qur’an berisi larangan Allah untuk manusia beriman !

B. Tugas Kelompok
Tuliskan bagaimana pendapatmu bila :
1. Ada orang muslim yang rajin shalat tetapi sering mendustai bapak/ibunya.
2. Ada orang suka mecuri harta orang lain tetapi gemar berderma/membantu ekonomi saudara dan tetangganya.

Dalil-Dalil Hukum Islam

August 13, 2011

PELAJARAN 2

 

 

 

 

 

 


 

 

 

 

 

          STANDAR KKOMPETENSI

 

  1. Memahami sumber hukum Islam

 

KOMPETENSI DASAR

 

18.1.      Menjelaskan sumber hukum yang disepakati dan yang diperselisihkan

 

INDIKATOR

 

  • Menjelaskan fungsi dan keduduk-an al-Qur’an sebagai sumber hukum yang disepakati
  • Menjelaskan fungsi dan keduduk-an al-Sunnah sebagai sumber hukum yang disepakati
  • Menjelaskan fungsi dan keduduk-an ijma’ sebagai sumber hukum yang disepakati
  • Menjelaskan fungsi dan kedudukan istihsan sebagai sumber hukum yang diperselisihkan
  • Menjelaskan fungsi dan keduduk-an istishab sebagai sumber hukum yang diperselisihkan
  • Menjelaskan fungsi dan kedudukan maslahah mursalah sebagai sumber hukum yang diperselisihkan
  • Menjelaskan fungsi dan kedudukan syad al-dzarai sebagai sumber hukum yang diperselisihkan
  • Menjelaskan fungsi dan kedudukan syar’u man qablana sebagai sumber hukum yang diperselisihkan
  • Menjelaskan fungsi dan keduduk-an mazhab shahabi sebagai sumber hukum yang diperselisihkan
  • Menjelaskan fungsi dan keduduk-an al-urf sebagai sumber hukum yang tidak disepakati
  • Menjelaskan fungsi dan keduduk-an dalalat al-iqtiran sebagai sumber hukum yg diperselisihkan

 

 

 

 

 


 

TANBIH   (  التنبه)

 

كَيْف تَقْضِى اِذَا عُرِضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكِتَابِ اللهِ : فَاءِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قًالَ: فَبِسُنَّةِ رَسٌول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سلم, قال: فَاءِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسٌول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سلم ؟ اِجْتِهَد رَأي, قَال: الحمد لله وفَّقَ رَسُولَ رَسولِ اللهِ بِمَا يَرْضىَ رَسول الله (رواه التر مذى)

 

Bagaimana engkau dapat memutuskan, jika kepadamu disserahkan urusan peradilan ? Ia (Muaz) menjawab: saya akanmemutuskan dengan kitabullah, bertanya lagi nabi saw, jika tidak engkau dapatkan dalam kitabullah? Ia menjawab,”dengan sunnah rasulullah saw, lalu nabi bertanya: apabila tidak engkau dapati dalam sunnah rasulullah saw ? saya lakukan dengan ijtihad bi ra’yi’’ berkatalah Muaz”, maka nabi menepuk dadaku dan bersabda, sewgala puji bagi Allah yang telah member taufik kepada utusan rasulullah, sebagaimana rasulullah telah meridhainya.

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ (48)

“Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu,” (QS. Al Maidah: 48).

 

 

 


 

IFTITAH

 

Dalam hidup bersama, manusia membutuhkan panduan yang mengatur tata laku kehidupan. Panduan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Jika panduan tersebut dilanggar, konsekuensinya jelas: hukuman. Demikian halnya dalam Islam. Sebagai umat Islam, sudah seharusnya kita menaati hukum Islam. Memang benar bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Namun jika pilihan pada Islam sudah dijatuhkan, akibat logisnya adalah menaati hukum Islam yang sudah dipilih tersebut.

Dalam Islam, sumber prima hukum Islam adalah Al-Qur’an. Sebagai Khalik, Allah lebih mengetahui yang terbaik bagi manusia. Sesuatu yang kita sangka buruk belum tentu buruk. Sangkaan itu muncul karena kita tidak atau belum mengetahui hikmahnya. Jika mengetahuinya, niscaya kita jauh dari prasangka buruk itu.

Setelah Al-Qur’an, sumber panduan kita adalah sunah Nabi. Perbuatan, perkataan, dan tingkah laku Nabi adalah teladan bagi kita, umat Islam. Jika berpegang teguh pada keduanya, niscaya kita akan selamat dunia dan akhirat.

Al-Qur’an dan sunah Nabi tidak dapat berbicara sendiri. Keduanya memerlukan penafsiran. Tugas menafsirkan inilah yang pertama-tama diemban akal. Lebih jauh, Islam juga menghargai akal manusia sebagai sumber hukum. Sebab, banyak permasalahan barn yang tidak ditemu­kan hukumnya dalam kedua sumber hukum tersebut. Berdasarkan nalar yang sehat yang tidak bertentangan dengan prinsip dan tujuan hukum Islam, nalar manusia tersebut dapat dijadikan sumber hukum. Namun, sifat akal sebagai sumber hukum Islam bersifat pelengkap.

 

 

 

 

 


MENGENAL HUKUM ISLAM

 

Hukum Syariat

Pengertian syari’at

Secara bahasa, kata syariat berarti jalan. Secara istilah, syariat adalah

خِطَابُ الشَّارِعِ الْمُتَعَلِّقُ بِاَفْعَالِ الْمُتَكَلَّفِيْنَ بِالاِفِتِضَاءِ اَوِالتَّخْيِيْرِ اَوِ الْوَضْعِ مَا طَلَبَ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ فِعْلُهُ

Artinya: Doktrin Allah yang bersangkutan dengan perbuatan seorang mukalaf, baik berupa tuntutan atau suruhan untuk memilih atau berupa ketetapan.

Hukum syariat mencakup segala doktrin Allah SWT yang disyariat­kan kepada manusia berupa akidah, akhlak, ibadah, ataupun muamalah.

Pembagian Hukum Syari’at

Ulama ushul fikih membagi hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh`i. Penjelasan tentang kedua hukum tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.

Hukum Taklifi

Pengertian Hukum Taklifi

Hukum taklifi ialah hukum yang 1) menuntut mukalaf melakukan perbuatan, 2) menuntut mukalaf meninggalkan perbuatan, atau 3) menuntut mukallaf memilih   antara melakukan atau meninggalkan perbuatan. Agar lebih jelas, cermatilah contoh-contoh berikut.

Macam-macam hukum Taklifi
Berdasar isi tuntutannya:

a). Contoh hukum taklif yang menuntut mukalaf untuk mengerjakan suatu perbuatan.

1)      Berpuasa pada bulan Ramadan, seperti terlihat jelas dalam Q.S. al­-Baqarah [2]: 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183)

Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas ka­mu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

2)      Melakukan ibadah haji bagi orang yang mampu. Cermati Q.S. Ali Imran [3]: 97.

فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ (97)

Terjemahan: Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke ke Baitullah, yaitu bagi orang­-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.

b). Contoh hukum taklifi yang menghendaki mukalaf untuk meninggalkan perbuatan.

1)      Makan bangkai, darah, dan daging babi, seperti tertera dalam Q.S. al­-Maidah [5]: 3.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (3)

Terjemahan: Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.

2)      Berkata tidak sopan kepada kedua orang tua, seperti tersurat dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 23.

فلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ ….. (23)

Terjemahan: …. maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan ke­pada keduanya perkataan “ah …..

Dua contoh ayat tersebut berisi larangan yang tegas, sehingga kita tidak diperbolehkan mengerjakannya. Bila melanggar.

c. Contoh hukum taklifi yang membebaskan mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan perbuatan.

1)      Seusai melaksanakan salat Jumat, kita dibebaskan untuk bertebaran atau berdiam diri di rumah. Lihat Surah al-Jumu’ah [62]: 10 berikut.

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (10)

Terjemahan: Apabila salat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi ….

2)      Mengqasar salat ketika bepergian jauh seperti tertera dalam Q.S. al­-Nisa’ [4]: 101, “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir.”

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُوا لَكُمْ عَدُوًّا مُبِينًا (101)

Berdasar ketegasan isi tuntutannya

Melihat definisi di atas, maka hukum taklifi bisa berupa Tuntutan ( thalabun), Meninggalkan (tarkun) atau memilih (takhyirun). Sementara isi ketiga hal tadi bisa jadi disampaikan tegas (sharih) atau tidak tegas. Jika tuntuntan disampaikan secara tegas maka menjadi wajib, jika tuntutan disampaikan secara tidak tegas maka menjadi sunnah, jika tuntutan meninggalkan disampaikan secara tegas maka menjadi haram, jika tuntutan meninggalkan disampaikan secara tidak tegas maka menjadi makruh, jika tuntutan antara memilih antara melakukan atau meninggalkan maka menjadi mubah.

Wajib

Kalian tentu sering mendengar kata wajib. Sebab kata ini tidak lagi menjadi istilah yang dimonopoli hukum Islam. Sekarang, secara gam­pangan segala keharusan entah berhubungan dengan agama atau tidak bisa diwakili oleh kata wajib. Menurut syara’, wajib adalah ,مَاطَلَبَ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ فِعْلُهُ  sesuatu yang diperintahkan (oleh Allah) agar dikerjakan secara pasti’. Perintah itu harus dilakukan oleh mukalaf sesuai dengan petunjuk yang telah ditentukan. Konsekuensi hukum wajib adalah pahala bagi yang mengerjakannya dan dosa bagi yang mening­galkannya. Contoh hukum wajib adalah salat, puasa, membayar zakat, menunaikan haji bagi yang mampu, berbakti kepada orang tua, dan lain sebagainya. Semua perintah tersebut hukumnya pasti dan tegas.

Sunah

Sunah ialah perintah yang datang dari Allah untuk dilakukan oleh mukalaf secara tidak tegas. Perbedaanya dengan wajib adalah kadar ketegasan perintah tersebut. Perintah dalam hukum sunah tidak sampai pads dera­jat wajib. Hukum sunah pun punya konsekuensi. Sunah mendatangkan pahala bagi pelakunya, tetapi tidak mendatangkan dosa dan siksa bagi yang meninggalkannya. Dengan istilah lain, sunah terpuji jika dikerjakan dan tidak tercela jika ditinggalkan. Sunah dalam istilah ulama ushul fikih disebut juga mandub, nafilah, tatawwu’, mustahab, dan ihsan. Contoh dari perkara yang sunah ialah mencatat hutang.

Mubah

Mubah adalah sesuatu yang oleh Allah diperbolehkan bagi mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain, Allah tidak menyuruh dan tidak melarang. Mubah tidak berpahala jika diker­jakan dan tidak pula berdosa jika ditinggalkan. Gampangnya, suka-suka kita mau mengerjakannya silakan, mau meninggalkannya juga silakan, tidak ada yang memberi sanksi. Contohnya, berburu setelah melakukan haji, bertebaran setelah salat Jumat, dan sebagainya.

Makruh

Pengertiannya ialah sesuatu yang diperintahkan oleh Allah agar seseorang tidak mengerjakan sesuatu. Tapi perintah untuk tidak mengerjakan se­suatu itu sifatnya tidak pasti. Dengan kata lain, larangan tersebut tidak sampai ke derajat haram. Contohnya, larangan Allah kepada manusia untuk bertanya sesuatu yang apabila dijelaskan akan menyusahkan.

Haram           

Haram ialah  مَاطَلَبَ الشَّارِعُ الْكَفَّ عَنْ فِعْلِهِ عَلَى وَجْهِ اللُّزُوْمِ tuntutan yang tegas dari Allah SWT untuk tidak dikerjakan secara pasti. Jadi tidak ada tawar-menawar, kecuali harus ditinggalkan. Konsekuensi dari hukum haram adalah seseorang yang mengerjakan akan mendapat dosa dan kehinaan sedangkan bagi yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan kemuliaan. Contohnya, berzina, mencuri, minum khamar, membunuh tanpa hak,

Hukum Wad’i

Hukum wadh’i ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai suatu sebab adanya yang lain; atau syarat bagi sesuatu yang lain; atau peng­halang (mani’) adanya sesuatu yang lain. Jadi, jenis hukum wadh’i adalah sebab, syarat, dan penghalang (mani’).

Sebab

Sebab ialah sesuatu yang oleh syari’ (pembuat hukum, Allah) dijadikan sebagai sebab adanya sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya. Ketiadaan sebab menjadikan sesuatu yang lain itu pun tidak ada. Dalam hukum, keberadaan sebab bersifat mutlak. Ketiadaan sebab menjadikan hukum tidak ada. Contohnya, kewajiban salat menjadi sebab kewajiban mengambil wudu; mencuri menjadi sebab adanya hukum potong tangan; atau orang yang berhasil memenangkan peperangan menjadi sebab kebolehan merampas harta benda musuh.

Syarat

Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum. Dengan tidak adanya syarat, hukum pun menjadi tidak ada. Tapi tidaklah pasti dengan adanya syarat, hukum menjadi ada. Misalnya, kemampuan melakukan perjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seseorang mukalaf kehadiran saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat bagi sahnya akad nikah dan wudu sebagai syarat untuk sahnya salat.

Penghalang (mani’)

Hukum wadh’i yang ketiga adalah penghalang (mani’, yaitu se­suatu yang keberadaannya dapat meniadakan atau membatalkan hu­kum. Mani’ hanya muncul ketika sebab dan syarat itu telah tampak secara jelas. Contohnya, si anak adalah ahli waris dari orang tuanya. Namun, ia bisa tidak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya karena ada penghalang (mani’). Penghalang itu bisa berupa kemurtadan si anak atau kematian orang tuanya ternyata disebabkan pembunuhan oleh si anak.

Unsur-unsur Hukum Islam

Mahkum Fih

Mahkum Fih ialah perbuatan mukalaf yang berhubungan dengan hukum syara’. Contohnya, kewajiban memenuhi janji.

Syarat-syarat perbuatan yang dibebankan kepada mukalaf.

  1. Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukalaf, sehingga ia dapat melakukan perbuatan itu sesuai dengan perintah. Berdasarkan syarat ini, nas-nas Al-Qur’an yang bersifat global (belum jelas) tidak wajib untuk diamalkan hukumnya sebelum ada penjelasan. Contohnya, perintah haji dalam Al-Qur’an. Perintah ini tidak wajib diamalkan hu­kumnya sebelum ada penjelasan dari Rasulullah. Tetapi, ketika Rasul sudah menjelaskan manasik haji, perintah ini wajib dilaksanakan.
  2. Diketahui secara jelas bahwa hukum itu datang dari orang yang me­miliki wewenang untuk memerintah atau orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalaf.
  3. Perbuatan yang diperintahkan itu mungkin atau dapat dilakukan oleh mukalaf sesuai dengan kadar kemampuannya. Berdasarkan syarat ini, tidak sah memberikan beban yang mustahil (di luar kemampuan) kepada mukalaf. Contohnya, tidaklah mungkin manusia diperintah untuk terbang seperti burung.

Mahkum ‘Alaih

Mahkum ‘Alaih ialah mukalaf yang mendapatkan khitab dari Allah di mana perbuatannya berhubungan dengan hukum syariat.

Syarat-syarat mukalaf adalah sebagai berikut.

  1. Mukalaf dapat memahami dalil taklif baik itu berupa nas-nas Al-Qur’an atau sunah baik secara langsung maupun melalui perantara. Orang yang tidak mengerti hukum taklif tidak dapat melaksanakan dengan benar spa yang diperintahkan kepadanya. Adapun alat untuk memahami dalil itu hanyalah dengan akal. Oleh karena itu orang yang tidak berakal (gila) tidaklah dikatakan  mukalaf.
  2. Mukalaf adalah orang yang ahli dengan sesuatu yang tergantung ke­padanya. Maksud ahli di sini ialah layak, mampu, atau wajar untuk menerima perintah tersebut.

Keadaan manusia dihubungkan dengan kelayakan untuk menerima atau menjalankan hak dan kewajiban dikelompokan menjadi dua.

1)     Tidak sempurna, ia dapat menerima hak tetapi tidak layak menerima kewajiban.  Contohnya adalah janin yang masih dalam perut ibu. Janin tersebut berhak menerima  wasiat, tetapi ia tidak bisa menunaikan kewajiban.

2)     Sempurna, apabila sudah layak menerima hak dan layak melakukan kewajiban, yaitu orang-orang yang sudah dewasa (mukalaf).

Bagaimana seluk beluk Al-Qur’an dan sunah Nabi? Bagaimana pula kedudukan akal dalam Islam? Untuk lebih jelasnya, kalian dapat me­mahami pembahasan berikut.

Sumber-sumber Hukum Islam Yang Disepakati

Al-Qur’an: Sumber Hukum Islam Utama

Dari segi bahasa, Al-Qur’an berarti bacaan. Secara istilah, al-Qur’an adalah lafal berbahasa Arab yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. melalui Jibril yang sampai kepada kita secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, disusun mulai Surah al-Fatihah dan diakhiri Surah an-Nas, dan membacanya dianggap sebagai ibadah. Al-Qur’an merupak­an wahyu yang tampak (wahy zahir), yaitu pesan Allah kepada Nabi SAW. yang disampaikan oleh Malaikat Jibril dengan kata-kata yang sepenuhnya dari Allah.

Al-Qur’an merupakan mukjizat. Ia bersifat melemahkan para penentangnya. Artinya, Al-Qur’an memiliki keistimewaan tak tertandingi, baik yang berhubungan dengan uslub (gaya bahasa), keindahan susunan redaksi, maupun jangkauan makna yang dikandungnya. Otentisitas Al-Qur’an dijaga dan dijamin Allah. Salah satu bentuk penjagaan ini adalah usaha pembukuan Al-Qur’an oleh para sahabat Nabi dan periwayatan­nya secara mutawatir. Oleh karena itu, tidak ada perubahan baik berupa pengurangan maupun penambahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Jika ada seseorang yang berusaha mengubahnya, niscaya ia akan ketahuan. Dengan demikian, kita percaya sepenuhnya tanpa keraguan terhadap ke­dan keaslian Al-Qur’an.

Al-Qur’an tidak diturunkan secara langsung dalam wujud tiga puluh juz seperti yang sekarang biasa kita lihat dalam ben­tuk sebuah kitab (buku). Ia diturunkan secara berangsur-angsur selama masa kenabian Rasulullah saw. Tentu saja ada maksud di balik keberangsuran ini. Pertama, tasbit al-fuad, memantap­kan hati berupa ketenangan dan kepuasan dalam menerima dan menjalankan isi Al-Qur’an baik bagi Nabi maupun umat­nya. Kedua, tartil, yaitu membaca dengan baik dan lancar. Allah berkehendak agar ayat-ayat Al-Qur’an dapat dihafal dengan baik secara menyeluruh sehingga keasliannya dapat terjamin. Untuk memudahkan hat itu, diturunkanlah Al-Qur’an secara sedikit­ demi sedikit dan bertahap. Seandainya Al-Qur’an diturunkan sekaligus, niscaya umat Islam sulit untuk menghafalnya.

Dalam menjalani hidup, sering kali kita bingung akan sesuatu yang hendak kita perbuat. Dalam kebingungan ini, kita memerlukan pedoman supaya kebingungan kita tidak bertam­bah atau berlarut-larut. Untuk itu, tengoklah Al-Qur’an. Tiada lain, Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk (huda) untuk me­mecahkan permasalahan yang dihadapi manusia. Inilah salah satu wujud kasih sayang (rahmah) Allah kepada hamba-Nya, umat manusia. Banyak sekali ayat yang menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk Allah kepada manusia. Misalnya, per­hatikan ayat berikut.

7ù=Ï? àM»tƒ#uä É=»tGÅ3ø9$# ÉO‹Å3ptø:$# ÇËÈ “W‰èd ZpuH÷qu‘ur tûüÏZÅ¡ósßJù=Ïj9 ÇÌÈ

Dengan melihat Al-Qur’an, kita bisa tahu dengan tegas apa yang semestinya kita lakukan. Kita tahu mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang haram dan mana yang halal; mana yang boleh dan mana yang terlarang. Demikianlah, karena AI-Qur’an juga berfungsi sebagai pem­-eda (furqan). Fungsi pembeda ini ditegaskan Al-Qur’an dalam Surah al-Baqarah [2]: 185.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ … (185)

Terjemahan, Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturun­kan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil.

Al-Qur’an juga diturunkan sebagai pelajaran (maui\zah). Melalui pengajaran Al-Qur’an manusia akan terbimbing dalam kehidupannya sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat tercapai. Perhatikan penegasan Al-Qur’an dalam Surah Yunus [10]: 57 berikut.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ (57)

Terjemahan 1 Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pela­jaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang berada dalam dada dan petunjuk Berta rahmat bagi orang yang beriman.

  1. Kejelasan Makna Hukum dalam Al-Qur’an

Dilihat dari kejelasan maknanya, ayat Al-Qur’an terbagi menjadi dua, yaitu ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Cobalah perhatikan ayat berikut.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ(7)

Terjemahan Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat …. (Q.S. Ali Imran [3]: 7)

Apa maksud dua jenis ayat tersebut?

  1. Ayat muhkam. Yaitu, ayat yang jelas maknanya. Kita tidak ragu lagi ketika memahaminya. Kita juga terhindar dari kemunculan beberapa pendapat dalam memaknainya. Ayat-ayat ini dikelompokkan menjadi qat’iyyah ad-dalalah (dalil yang hukumnya bersifat pasti). Contoh ayat muhkam adalah perintah salat dan puasa (“aqim as-salah” dan “kutiba ‘alaikum as-siyam”). Untuk lebih jelas, bukalah Al-Qur’an Surah Luqman [31]: 7 dan al-Baqarah [2]: 183. Secara tersurat tidak ada makna lain dari ayat-ayat tersebut, kecuali perintah mendirikan salat dan melak­sanakan puasa.

 

 

  1. Ayat mutasyabih. Artinya, ayat yang tidak pasti arti dan maknanya, sehingga dapat dipahami dengan beberapa kemungkinan. Keberadaan ayat mutasyabih disebabkan Al-Qur’an menggunakan kata yang dapat digunakan untuk dua maksud. Ayat-ayat mutasyabih sifatnya zanniyah ad-dalalah (dalil yang hukumnya bersifat dugaan/tidak pasti). Misalnya, kata quru’ dalam masalah idah (masa menunggu seorang perempuan setelah berpisah dengan suaminya) dalam Surah al-Baqa­rah [2]: 228. Kata quru  dapat berarti suci, dapat pula berarti haid.
  1. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum

Umat Islam sepakat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam utama. Al-Qur’an merupakan pedoman paling otoritatif bagi umat Islam, sehingga hukum-hukumnya adalah undang-undang yang harus diikuti dan ditaati. Kewajiban untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hu­kum ditegaskan oleh Allah SWT. dalam Surah an-Nisa’ [4]: 59.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ (59)

Terjemahan: Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taati­lah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya).

Sunah: Sumber Hukum Islam Kedua

Bila Al-Qur’an adalah wahyu yang tampak, sunah adalah wahyu in­ternal (wahy batin). Wahyu internal disampaikan Allah kepada Nabi SAW dalam bentuk inspirasi atau ilham tentang suatu konsep. Nabi kemudian menyatakan konsep tersebut dengan bahasanya sendiri. Jadi, seluruh perkataan Nabi termasuk wahyu.

Secara bahasa, sunah artinya jalan, cara, atau metode. Bisa pula ia berarti perilaku, tabiat, watak, atau hukum. Sedangkan menurut is­tilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Zahra, sunah adalah

اَقْوَالُ النَّبِىِّ وَاَفْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَاتُهُ

Artinya : Perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi.

Dengan demikian, segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi terhadap suatu peristiwa, dapat dikatakan sunah. Dari pengertian di atas, dapat pula disimpulkan bahwa sunah Nabi terbagi menjadi tiga macam, yaitu sunah yang terkait dengan perkataan Nabi, sunah yang terkait dengan perbuatan Nabi, dan sunah yang terkait dengan pengakuan Nabi.

  1. a.        Macam-macam Sunah

1)      Sunah Qauliyah

Qaul artinya perkataan, sedangkan qauliyah berarti yang berkaitan dengan perkataan. Jadi, sunah qauliyah adalah se­luruh perkataan Nabi. Perkataan Nabi tersebut didengar oleh sahabat dan diteruskan kepada tabi’in. Contohnya, sahabat mendengar bahwa Nabi berkata, “Barang-siapa yang tidak salat karena tertidur atau lupa, hendaklah ia mengerjakan salat pads saat ia telah teringat”.

Contoh lain:

عَنْ يَحْيَ بْن حَسَنٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ لاَضَرَرَوَلاَ ضِرَارَ (رواه مَالك)

Artinya: Dari Yahya bin Imarah bin Hasan Rasulullah SAW. bersabda: “Tidak boleh membuat kesusahan dan tidak boleh membalas dengan ke­susahan juga.“ (H. R. MaIik)

2)      Sunah Fi’liyah

Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan diperhatikan oleh sahabat Nabi disebut dengan sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi dapat beraneka ragam bentuknya, dilihat dari kedudukan Nabi sebagai manusia biasa dan utusan Allah.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lum­rah dikerjakan manusia pada umumnya, seperti cara makan, minun, berdiri, duduk, berpakaian, memelihara jenggot, dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia biasa. Menurut sebagian ulama, kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tapi, sebagian ulama lain men­gatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak berdampak hukum dan dengan demikian tidak harus diikuti.

Kedua, perbuatan Nabi yang hanya khusus dilakukan oleh Nabi, tapi tidak wajib bagi umatnya untuk mengikuti. Misalnya, Nabi wajib salat Duha, Tahajud, dan berqurban. Umat Islam hanya disunahkan melak­sanakannya. Contoh lain, Nabi boleh menikahi perempuan lebih dari empat, namun umatnya tidak boleh lebih dari empat.

Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang ter­kandung dalam Al-Qur’an, seperti cara salat, puasa, haji, jual beli, dan utang-piutang. Dengan demikian, semua perbuatan itu berdampak pada pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi, melainkan juga bagi umatnya. Misalnya, hadis Nabi berikut.

عَنْ مَالِكٍ بْنِ اَلْجُوَيْرِثَ قََالَ قَالَ رُسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي اُصَلِّي (رواه البخارى)

Artinya: Dari Malik bin al–Juwairis is berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku salat.”‘ (H.R. Bukhari)

3)      Sunah Taqririyah

Sunah taqririyah adalah sikap Nabi terhadap suatu kejadian (perbuat­an atau perkataan sahabat) yang dilihatnya. Melihat kejadian tersebut, Nabi ada kalanya mendiamkannya, tidak menunjukkan tanda-tanda mengingkarinya, menyetujuinya, atau menganggapnya sebagai perbuat­an baik. Inilah bentuk ikrar Nabi terhadap kejadian tersebut, sehingga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan Nabi sendiri yang hukum­nya boleh dilakukan. Contohnya, ketika Nabi mendiarnkan orang yang memakan binatang sebangsa biawak. Diamnya Nabi ditafsirkan sebagai kebolehan memakan daging tersebut. Seandainya daging tersebut haram, niscaya Nabi tidak akan tinggal diam. Ia pasti melarangnya.

  1.  Periwayat Sunah

Lihat dari jumlah orang yang meriwayatkannya, sunah dapat dibedakan menjadi tiga.

1)      Hadis Mutawatir, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sekelorn­pok perawi dan di antara mereka tidak mungkin bersepakat untuk mengatakan dusta, karena jumlah mereka yang banyak, memiliki sifat jujur, dan berbeda tempat. Dari kelompok inilah kemudian dic­eritakan lagi oleh kelompok perawi selanjutnya yang sepadan hingga sampai kepada kita tanpa ada kebohongan. Hadis mutawatir banyak berisi tentang perbuatan Nabi seperti salat, puasa, haji, azan, dan se­bagainya. Sedikit sekali hadis mutawatir ini dalam bentuk perkataan Nabi (sunah qauliyah). Hadis mutawatir ini sangat tinggi derajatnya sehingga dapat dijadikan sumber hukum yang qa’ti (‘ilm yaqin bi ad-daruri). Contoh hadis mutawatir.

عَنْ عَامِرِبْنِ عبْدِاللهِ بْنِ الزّبَيْرِ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا مَقْعَدَهُ مَنَ النَّارِ (رواه البخاري)

Artinya:Dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari ayahnya ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Siapa saja yang sengaja berdusta atas na­maku, maka bersiaplah mengambil tempat di neraka. “‘ (H.R. Bukhari)

2)      Hadis Masyhur. Yaitu hadis yang diriwayatkan dari Rasul oleh satu atau dua kelompok sahabat yang tidak sampai tingkat mutaw<tir. Kernudian, hadis ini disampaikan kepada orang banyak yang selamat dari kesepakatan berdusta yang jum­lahnya mencapai batas ukuran hadis mutawatir. Kehujahan hadis masyhur ini tidak sampai kepada hadis mutawatir. Menurut Abu Hanifah, tingkat kehujahannya sampai pada peringkat ilmu yakin. Akan tetapi para fukaha yang lain menganggap­nya sampai ke peringkat zan seperti hadis ahad.

3)      Hadis Ahad. Yaitu hadis yang disampaikan dan diterima dari Nabi secara perorangan dan dilan­jutkan periwayatannya sampai kepada perawi terakhir secara perorangan pula. Kehujjahan hadis ahad dalam hukum hanya mencapai pe­ringkat zan.

Dilihat dari dari kualitasnya, hadis secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga.

1)      Hadis Sahih. Yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang yang adil dan memiliki ingatan yang kuat, serta tidak ter­dapat kejanggalan dan ‘illat (penyakit/cacat). Hadis sahih ini terbagi menjadi sahih li\zatih dan sahih ligairihi.

2)      Hadis Hasan, yaitu hadis yang bersambung sanadnya, diriwayat­kan oleh perawi yang adil namun lemah ingatannya, tidak terdapat kejanggalan di dalamnya, dan tidak berillat. Hadis hasan terbagi men­jadi hasan li\zatih dan hasan ligairih.

3)      Hadis Da’if, yaitu hadis yang tidak memenuhi standar hadis sahih dan hadis hasan.

 

 

 

  1.  Kedudukan Sunah terhadap Al-Qur’an

Tidak ada keraguan bahwa sunah merupakan sumber hukum Islam. Lalu, bagaimana kedudukan sunah Nabi terhadap Al-Qur’an?

1)      Ta’kid dan taqrir. Maksudnya, menguatkan dan mengukuhkan hu­kum yang ada dalam Al-Qur’an. Jadi kedudukan hukum itu sangat kuat karena berdasar pada dua sumber, yaitu Al-Qur’an dan hadis. Contohnya, hukum wajib salat, puasa, zakat, haji, larangan syirik kepada Allah, menyakiti kedua orang tua, membunuh tanpa hak, dan sebagainya. Semua hukum tersebut ditegaskan oleh Al-Qur’an, kemudian dikokohkan oleh hadis Nabi.

2)      Bayan, taqyid, dan takhsis. Artinya, merinci dan menafsiri kata-kata yang masih global, membatasi, dan mengkhususkan hukum-hukum yang masih bersifat umum dalam Al-Qur’an. Contohnya, merinci waktu salat. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103)

Terjemahan: Sungguh, salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S. an-Nisa’ [4]: 103)

Al-Qur’an tidak menjelaskan waktu pelaksanaan salat. Ketentuan waktu ini dijelaskan oleh hadis Nabi bahwa waktu Zuhur adalah apa­bila matahari telah condong dan bayang-bayang sudah sama panjang dengan bends aslinya. Sedangkan, waktu Asar adalah selama ma­tahari belum menguning. Waktu Magrib adalah selama mega belum hilang. Waktu Isya adalah sampai sebelum fajar. Waktu Subuh adalah sejak terbitnya fajar sampai sebelum matahari terbit.

3)      Sunah dapat menetapkan hukum baru yang tidak ada dalam Al-Qur’an. Contohnya, hadis dengan tegas mengharamkan memadu perempuan dengan bibinya (saudara ayah atau ibu), haram memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam, serta memakai kain sutra dan memakai cincin emas bagi laki-laki. Hukum semua ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi ditemukan dalam hadis Nabi.

  1. Sunah yang Mengandung Hukum

Secara umum, sunah Nabi menjadi teladan bagi umatnya. Namun dilihat dari sudut pandang hukum, ternyata tidak semua sunah harus diikuti, bahkan ada sunah yang tidak boleh dilakukan oleh umatnya. Berkaitan dengan hal tersebut, ulama mengelompokkan sunah menjadi dua kelom­pok.

1)      Sunah tasyri’ atau sunah yang berdaya hukum dan mengikat, se­hingga wajib diikuti. Sunah yang berdaya hukum ini meliput aspek-aspek kehidupan manusia yang berhubungan dengan hal-hal berikut.

a)      Akidah. Yaitu, semua sunah yang menjelaskan keesaan Allah, sifat-sifat-Nya, rasul, wahyu, Hari Kiamat, malaikat, dan sebagainya. Semuanya bermuatan hukum, yaitu wajib untuk ditaati oleh umatnya.

b)      Akhlak. Sunah yang mengandung ajaran akhlak, baik mengenai hubungan dengan Allah seperti salat, berdoa, tawakkal, dan sabar maupun mengenai hubungan antarmanusia seperti adab bertetang­ga, menepati janji, membantu anak yatim dan orang miskin, dan sebagainya. Semua sunah yang berkaitan dengan akhlak berdampak hukum, yaitu wajib bagi untuk mengikutinya.

c)      Hukum amaliah. Yaitu sunah yang mengandung penetapan bentuk-­bentuk ibadah, pengaturan muamalah antar manusia, memisahkan hak dan kewajiban, menyelesaikan persengketaan antar umat secara adil. Hadis-hadis ini semua dapat dijadikan sumber hukum dan kita wajib mematuhinya.

2)      Sunah non-tasyri’ atau sunah yang tidak mengandung hukum. Maksudnya, sunah yang tidak harus diikuti. Oleh karena, itu sifatnya ti­dak mengikat. Sunah ini biasanya menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan:

a)    Perbuatan Nabi sebagai manusia biasa, seperti cara makan, minum, dan berpakaian.

b)   Perbuatan Nabi yang timbul dari pengalaman pribadi atau kebiasaan dalam pergaulan, seperti urusan pertanian, kesehatan, mengasuh anak, dan sebagainya.

c)    Ucapan dan perbuatan Nabi yang timbul dari tindakan pribadi Nabi dalam keadaan tertentu, seperti penempatan pasukan, pengaturan barisan, dan penentuan tempat dalam peperangan.

Sunah bukan tasyri’ tidak mengandung hukum, tidak mengikat, serta tidak mengandung tuntutan atau larangan. Sebagai umat Nabi, kalian dapat saja menirunya, namun sifatnya tidak mengikat. Artinya, tidak ada keharusan untuk mengikutinya.

Berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis

Al-Qur’an dan hadis diturunkan kepada manusia sebagai pedoman hidup. Sebagai orang yang beriman, kita melaksanakan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. Perilaku kita tidak boleh menyimpang dari segala hal yang sudah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya. Jika kita mau melaksankan ajaran Allah dan Rasul-Nya, kita akan mendapatkan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Hukum Allah dan Rasul-Nya adalah yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia. Allah-lah yang telah menciptakan ma­nusia. Dia membuat hukum yang sesuai dengan fitrah manusia. Tidak ada kata susah dan sulit untuk melaksanakan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Sebab, selain sejalan dengan fitrah manusia, hukum Al-Qur’an selalu memerhatikan aspek kemudahan dan selalu menghindari beban yang memberatkan manusia. Tidak ada alasan bagi kita untuk berpaling dari hukum Allah dan Rasul-Nya. Bukankah Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya dan Rasul-Nya (Q.S. an-Nisa’ [4]: 4)? Selain itu, Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut.

عَنْ عُ مَروبْنِ اَلْخَطَابِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدًا مَااِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كَتَابُ اللهِ وَسُنَّةُ رَسُوْلِهِ (رواه مالك)

Artinya: Dari Umar bin Khattab ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda: ‘Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara, jika kalian berpegang kepada keduanya maka selamanya kalian tidak akan tersesat: Kitabullah dan su­nah Rasul-Nya.” (H.R. Malik)

Ra’yu (Nalar) sebagai Sumber Hukum Pelengkap

Secara bahasa, kata ra’yu artinya penglihatan, pendapat, dan panda­ngan. Dalam Islam, ra’yu menjadi sumber hukum Islam pelengkap setelah Al-Qur’an dan sunah Rasulullah. Inilah salah satu bukti bahwa Islam san­gat menghargai akal. Gunakan akal pikiran, nalar. Itulah seruan Al-Qur’an kepada manusia. Dari aktivitas manusia bernalar dan berpikir inilah lahir suatu hukum yang diakui sebagai hukum Islam.

Ra’yu sebagai sumber hukum Islam memiliki dasar yang kuat. Dalam Al-Qur’an, banyak sekali ayat yang memerintahkan manusia untuk meng­gunakan akalnya. Misalnya, Allah berfirman dalam Surah ar-Rum [30]: 8.

أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ (8)

Terjemahan: Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? ….

Bisa jadi kalian bertanya-tanya, kapan ra’yu bisa dijadikan sumber hukum Islam? Ra’yu dapat dijadikan sumber hukum Islam dalam perkara hukum yang tidak ditemukan hukumnya dalam Al-Qur’an ataupun sunah Rasulullah.

Allah melalui syariat-Nya mempunyai tujuan yang meru­pakan ruh risalah Islam. Maksud Allah dalam menetapkan hukum adalah mendatangkan kemaslahatan (kebaikan) dan menjauhkan kerusakan bagi umat manusia. Oleh karena itu, pertimbangan maslahat dan mafsadat dapat dijadikan pijakan ra’yu dalam menetapkan hukum yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan hadis.

Hukum yang sudah secara jelas dan tegas dinyatakan oleh Al-Qur’an ataupun hadis tidak memperkenankan ra’yu untuk digunakan. Ra’yu berperan ketika suatu peristiwa atau keadaan belum ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an atau­pun sunah Rasul.

Sepanjang sejarah hukum Islam, ra’yu telah digunakan untuk menetapkan hukum. Seiring bergulirnya waktu, peng­gunaan ra’yu untuk menetapkan suatu hukum tentu saja menjadi lebih besar. Banyak persoalan baru yang muncul, sedangkan hukumnya tidak ada dalam Al-Qur’an ataupun hadis. Apakah sesuatu tersebut harus kosong dari hukum (tidak ada hukumnya)? Tentu saja tidak demikian, karena mengosongkan hukum sesuatu bertentangan dengan tujuan hukum Islam. Oleh karena itu, ra’yu sangat berperan untuk memecahkan hukum baru yang tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis. Demikianlah, ra’yu merupakan sumber hukum pelengkap yang akan dibutuhkan sepanjang masa. Contohnya kasus hukum operasi plas­tik, bedah mayat, pencangkokan jantung, pencangkokan kornea mates, dan lain sebagainya. Semua kasus ini tidak ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis, sehingga tampillah ra’yu untuk menetapkan hukumnya.

 

TUGAS PORTOFOLIO

 

 

 

 

 

BERILAH PENJELASAN PERNYATAAN PADA KOLOM BERIKUT

 

I.

 

NO

Pokok-pokok isi Al-Qur’an

NO

Kedudukan As-Sunah dalam

Al-Qur’an

1

 

 

1

 

2

 

 

2

 

3

 

 

3

 

4

 

 

4

 

 

II.

 

NO

Pembagian As-Sunah

Pengertiannya

Contohnya

1

Sunah Qauliyah  

 

 

2

Sunah Fi’liyah    

 

3

Sunah Taqririyah    

 

4

Sunah hamiyah    

 

 

III.

 

NO

Macam-hukum taklifi

Pengertiannya

Contohnya

1

Ijab/ Fardhu    

 

2

Nadb    

 

3

Tahrim    

 

4

Karahah    

 

5

Ibahah    

 

 

 

 

 

UJI KOMPETENSI

 

 

 

 

 

A.  Pilihlah Salah Satu Jawaban A, B, C, D Atau E Dengan Memberi  Tanda Silang (X) Pada Jawaban Yang Benar !

 

  1. Yang tidak termasuk dasar-dasar Al-Qur’an dalam menetapkan hukum adalah …..
    1. Berpahala bagi yang mengerjakan
    2. Berangsur-angsur
    3. Tidak memberatkan
    4. Tidak menyulitkan
    5. Menyedikitkan beban
    6. Rosulullah telah memperagakan cara Sholat, peragaan tersebut termasuk …..
      1. Sunnah qouliyah
      2. Sunnah hammiyah
      3. Sunnah taqririyah
      4. Sunnah amaliyah
      5. Sunnah fi’liyah
      6. Sesuatu yang telah direncanakan akan dikerjakan (diamalkan) oleh Nabi, tetapi tidak sempat dikerjakan disebut …..
        1. Sunnah qouliyah
        2. Sunnah hammiyah
        3. Sunnah taqririyah
        4. Sunnah amaliyah
        5. Sunnah fi’liyah
        6. Ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah jelas dan terang maksud dan hukum yang dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran adalah pengertian dari …..
          1. Ayat muhkamad
          2. Ayat mutasyabihat
          3. Ayat qur’an kulli
          4. Ayat qur’an juz’i
          5. Ayat madaniyah
          6. Ar ra’yu adalah sebagai sumber pelengkap dalam syari’at Islam. Pengertian Ar-Ra’yu adalah …..
            1. Menafsirkan ayat-ayat ahkam
            2. Menta’wil ayat mutasyabihat
            3. Hasil pemikiran manusia
            4. Menghubungkan ayat yang satu dengan yang lain
            5. Menerangkan sebab nuzul
          7. Di bawah ini yang tidak termasuk fungsi Al-Qur’an ialah …..
            1. Menjadi pedoman hidup
            2. Membawa kabar gembira
            3. Memberi motivasi kemajuan ilmu pengetahuan
            4. Sebagai obat penyakit rohani
            5. Berangsur-angsur dalam menetapkannya
          8. Sifat ayat tersebut di bawah ini adalah …..

وَاَقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَاَتُوا الزَّكَاة

  1. Kulli
  2. Far’i
  3. Tafsili
  4. Muhkamad
  5. Mutasyabihat
  6. Ayat dibawah ini yang menunjukkan bahwa Al-Qur’an menjadi sumber hukum Islam yang utama adalah …..

a. وَننَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ

b. يُرِيْدُ الله ُبِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

c.  وَهَذَا كِتَابٌ اَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ  فَاتَبِعُوْهُ وَاتَقُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

d.   اَقِيْمُوا الصّلآةَ وَاَتُوا الزَّكَاةَ

e.   وَاِنَّهُ لَهُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ

  1. هِيَ مَا صَدَرَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ

Ta’rif tersebut diatas adalah pengertian dari …..

  1. As-Sunah
  2. Al-Qur’an
  3. Hadits qudsi
  4. Qoul sahabat
  5. Bid’ah
  6. Ayat-ayat berikut menunjukkan bahwa sunnah merupakan sumber hukum Islam yang kedua, kecuali ….

a.  وَمَا اَتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا

b. اَطِيْعُوا الله َوَاَطِيْعُوا الرّسُوْلَ وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ

c.  مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهُ

d.  وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

e. فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَبْئ ٍفَرُدُّوهُ اِلىَ اللهِ وَارَسُوْلِهِ

  1. Yang dimaksud وَاَْنْزَلْنَا اَلَيْكَ الذِّكْرَ لَتُبَيِّنً لِلنَّاسِ  adalah …..
    1. Perkataan Nabi
    2. Sunnah fi’liyah
    3. Al-Qur’an
    4. Hadits qudsi
    5. Ijma’
    6. As-Sunah, dalam pengertian bahasa berarti …..
      1. Jalan yang ditempuh
      2. Lawan kata bid’ah
      3. Jalan yang sudah biasa
      4. Sesuatu yang dilakukan sahabat
      5. Jawaban a, b, c dan d semua benar

 

  1. Sumber pelengkap dalam hukum Islam adalah …..
    1. Hadits qudsi
    2. Ijma’
    3. Ar Ra’yu
    4. Qiyas
    5. Urf
    6. Orang yang sudah baligh, berakal disebut pula dengan …..
      1. Muallaf
      2. Muallim
      3. Musyadiq
      4. Musyta’mah
      5. Mukalaf
      6. Al-Qur’an secara bahasa berarti …..
        1. Wahyu
        2. Membaca
        3. Tuntutan
        4. Bacaan
        5. Amalan

16. Ayat di bawah merupakan salah satu dasar hukum Al-Qur’an dalam menetapkan hukum…

#sŒÎ)ur y7s9r’y™ “ÏŠ$t6Ïã ÓÍh_t㠒ÎoTÎ*sù ë=ƒÌs% ( Ü=‹Å_é& nouqôãyŠ Æí#¤$!$# #sŒÎ) Èb$tãyŠ ( (#qç6‹ÉftGó¡uŠù=sù ’Í< (#qãZÏB÷sã‹ø9ur ’Î1 öNßg¯=yès9 šcr߉ä©ötƒ ÇÊÑÏÈ

  1. Tidak memberatkan
  2. Berangsur-angsur
  3. Memberatkan
  4. Menyedikitkan beban
  5. Meringankan

17.   Untuk meninggalkan sesuatu, atau membolehkan memilih antara melakukan atau meninggalkan sesuatu hukum yang menetapkan hukum/ tuntutan terhadap orang mukallaf untuk melakukan sesuatu atau tuntutan disebut …..

  1. Taklifi
  2. Mahkum bihi
  3. Mani’
  4. Wad’i
  5. Mahkum ‘alaih

18.   Hukum yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang untuk berlakunya sesuatu hukum disebut …..

  1. Taklifi
  2. Mahkumbihi
  3. Mani’
  4. Wad’i
  5. Mahkum ‘alaih

19. Perbuatan orang mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara’ disebut …..

  1. Taklifi
  2. mahkum bihi
  3. Mani’
  4. Wad’i
  5. Mahkum ‘alaih

 

20. Amal perbuatan orang mukallaf yang menjadi tempat berlakunya hukum Allah adalah

  1. Taklifi
  2. Mahkum bihi
  3. Mani’
  4. Wad’i
  5. Mahkum ‘alaih

 

B.  Isilah Titik-Titik Dibawah Ini Dengan Jawaban Yang Tepat !

 

  1. Al-Qur’an menurut pengertian bahasa artinya …………
  2. Al-Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah …………..
  3. Sifat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah bersifat KULLI, artinya …………
  4.      وَاَْنْزَلْنَا اَلَيْكَ الذِّكْرَ لَتُبَيِّنً     kelanjutannya adalah …………..
  5. Arti ayat tersebut diatas adalah ………….
  6. Perbuatan apa saja yang dilakukan oleh Rosulullah disebut Sunah …………..
  7. Penetapan dan pengakuan Nabi Muhammad SAW atau diamnya Nabi dalam melihat perbuatan sahabat disebut Sunah … ………….
  8. Ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya dan tidak memerlukan penafsiran disebut ayat …………….
  9. Ayat-ayat yang memerlukan penafsiran disebut ayat ………………
  10. Perbuatan mukallaf  yang berhubungan dengan hukum syara’ dinamakan …………….

 

C.  Jawablah Pertanyaan-Pertanyaan Dibawah Ini Dengan  Singkat Dan Jelas !

 

  1. Al-Qur’an menurut bahasa berarti

Jawab :

 

 

 

  1. Sebutkan pokok-pokok isi Al-Qur’an!

Jawab :

 

 

 

  1. Jelaskan pengertian   عدم الحدج     ( tidak memberatkan dalam menetapkan hukum ) pada ayat-ayat Al-Qur’an!

Jawab :

 

 

 

  1. Apa yang dimaksud ayat-ayat Al-Qur’an bersifat Juz’I dan Kulli ?

Jawab :

 

 

 

 

 

  1. Sebutkan dan jelaskan macam-macam As-Sunah !

Jawab :

 

 

 

  1. Tulislah ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa As-Sunah adalah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an !

Jawab :

 

 

 

  1. Rosulullah inginberpuasa pada tanggal 9 Muharram, namun belum terlaksana. Menurut sebagian ulama ini tetap dipandang ssebagai sunah, disebut dengan …..

Jawab :

 

 

 

  1. Sunah qouliyah / perkataan Rosul disamping disebut “Khabar” …..

Jawab :

 

 

 

9.  Ayat tersebut di atas merupakan sifat hukum yang ditunjukkan Al-Qur’an yang bersifat …………..

(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨“9$# (#qãèx.ö‘$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ

            Jawab :

 

 

 

10.   Sunah dalam pengertian bahasa berarti …..

Jawab :

 

 

 

 

 

 

STANDAR KOMPETENSI

  1. Memahami sumber hukum Islam

 

KOMPETENSI DASAR

18.2.          Menunjukkan penerapan sumber hukum yang disepakati dan yang tidak disepakati ulama

INDIKATOR

  • Menunjukkan contoh produk hu-kum yang bersumberkan al-Qur’an
  • Menunjukkan contoh produk hu-kum yang bersumber al-Sunnah
  • Menunjukkan contoh produk hukum yang bersumberkan ijma’
  • Menunjukkan contoh produk hukum dari istihsan
  • Menunjukkan contoh produk hukum dari mashlahah mursalah
  • Menunjukkan contoh produk hukum dari istishhab
  • Menunjukkan contoh produk hukum dari syar’u man qablana
  • Menunjukkan contoh produk hukum dari mazhab shahabi
  • Menunjukkan contoh produk hukum dari syadudz dzara’i
  • Menunjukkan contoh produk hukum dari al-‘urf

Menunjukkan contoh produk hukum dari dalalatul iqtiran

 

Validasi Jadual

February 2, 2011

Validasi Jadual Guru

Berkaitan dengan kurikulum, biasanya adalah pembuatan jadual mengajar. Miskipun rutin seringkali merepotkan, dulu dengan cara papan triplek di beri paku untuk menggantungkan kode-kode guru sesuai kelas dan jam mengajarnya.

Sekarang rasanya sudah bukan jamannya lagi, ditempat saya karena yayasan memiliki empat unit sekolah seringkali satu guru bisa mengajar di dua atau tiga unit sekolah sekaligus, sehingga tidak mudah untuk memadukan jadual semuanya. bisa jadi di unit sekolah satu guru bersangkutan jam mengajarnya sudah tidak ada tabrakan jam mengajar, tetapi dengan unit lain bisa jadi  masih tabrakan.

Kalau di unit sekolah dalam kolom jadual bisa diseting agar pada hari yang sama jam yang sama guru bersangkutan bila kita memasukkan kode guru yang sama dalam satu baris akan otomatis sel nya di beri warna.

nah bila semua jadual unit-unit sekolah sudah jadi,baru digabung bersama untuk mengetahui yang tubrukan.

aplikasi sederhana ini untuk mengetahui itu, termasuk memprint jadual individu atau bersama

untuk contohnya dapat di download di samping ini —–>>>validasi jaduall

 

NB: bila sudah di download silahkan di rename dulu menjadi : validasi jaduall.rar

Raport MS Excel

February 2, 2011

berikut ini contoh raport atau laporan hasil belajar secara digital dalam MS Excel dengan memanfaatkan fungsi dan macro excel.
Dibuat dengan tampilan awal berisi antar muka: identitas sekolah, daftar mata pelajaran, menu untuk konfigurasi.
untuk memasukkan nilai dengan mengklik mata pelajaran bersangkutan di lembar antar muka
untuk mengkonfigurasi nama sekolah, kelas, wali kelas, tahun pelajaran, nama siswa, juga dengan mengklik di menu yang disediakan di lembar antar muka.
untuk melihat leger,raport juga disediakan dilembar antar muka.
untuk download silahkan klik di sebelah ini —>>> X

NB. setelah download, ganti ekstensinya dari X.xls ke X.rar. kemudian ekstrak. kalau setelah diektrak pastikan settiing security macro excel ke level medium.

update yang tertunda terus

June 4, 2009

Sudah cukup lama saya tidak mengupdate blog ini semenjak saya mengisinya bberapa saat yang lalu, sebenarnya ingin saya mengupdate tetapi kenapa juga sampai sekarang tidak diupate-update, padahal ada beberapa materi ktsp yang siap diupload terutama yang kelas SMP/MTS.

wah kapan bisa upload ya..

MODEL PENDIDIKAN INTEGRAL

September 13, 2008

Pendidikan Integral Di PPMI Assalaam:

( Pengalaman sistem pendidikan memadukan intekektual, moral dan spiritual)

Pendahuluan.

Belajar di Assalaam harus sadar sejak semula, bahwa ia tidak hanya sekedar ingin menjadi cerdas secara intelektual, tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan semata, tetapi ia harus sadar bahwa belajar di Assalaam harus sanggup pula untuk mengejar keinginan menjadi orang yang cerdas secara spiritual dan moral. Dua hal ini sering kali menjadi sesuatu yang kurang diperhatikan oleh dunia pendidikan. Umumnya dunia pendidika  hanya mengejar dan mengajarkan kecerdasan intelektual, hal ini dibuktikan bahwa prestasi anak didik, hanya didasarkan pada capaian hasil belajar siswa secara akademik, penerimaan siswa baru juga didasarkan pada nilai-nilai akademik.

Pendidikan di Assalaam, selain secara ketat menerapkan standar kecerdasan intelektual, tetapi juga tidak melupakan dua aspek lainnya yaitu aspek spiritual dan intelektual. Tiga aspek ini yang menjadi kata kunci visi Assalaam “Terwujudnya insan yang memiliki keseimbangan Spiritual, Intelektual, dan Moral menuju generasi ulul albab yang berkomitmen tinggi terhadap kemaslahatan Umat dengan berlandaskan pengabdian kepada Allah SWT ”

Ini dipahami, karena sesungguhnya jati diri manusia terletak pada ketiga aspek tadi. Manusia utuh adalah yang intelektual,spiritual dan moral berjalan dan berkembang serasi antara ketiganya. Manakala terjadi ketimpangan salah satu aspek ini, maka kemanusian juga akan mengalami kepincangan, satu contoh, orang yang secara intelektual cerdas tetapi tidak dimbangai dengan spiritual, maka ia sering merasakan kehampaan hidup, ketidakpunyaan tujuan hidup, ia cenderung kehilangan orientasi hidup akibatnya timbul depresi, alienasi, stress bahkan bunuh diri. Orang cerdas secara intelektual tetapi moralitasnya jelek, ia cenderung menjadi penyakit bagi masyarakatnya. Culas, manipulasi, memperkaya diri, adalah beberapa bentuk dari buruknya moral.

Beberapa Model Penerapan dan kendala Pengembangan

Permasalahan utama adalah bagaimana merumuskan secara jelas konsep pendidikan spiritual dan moral ini? Secara sederhana barangkali kita bisa menterjemahkan bahwa pendidikan spiritual ini adalah menyangkut aspek keimanan yang tertanam kuat di hati dan tercermin dalam kepribadiannya yang memancarkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Adalah tidak mudah pula untuk merumuskan kurikulum yang menjadikan santri Assalaam cerdas secara spiritual, tetapi sebenarnya langkah-langkah konkret sudah dilaksanakan, memang secara sistematis tampaknya belum bisa sepenuhnya tergarap. Spiritual maupun moral merupakan dua aspek yang sangat dekat, keduanya dapat disarikan dari sumber utama Islam yaitu al Qur’an dan Hadits, permasalahannya adalah bagaimana mensarikan al Qur’an dan hadits ini menjadi sesuatu yang aplikatif secara kurikulum pendidikan.

Beberapa contoh usaha untuk mengusahakan adalah bahwa pencapaian hapalan al qur’an, puasa senin kamis, kerajinan shalat berjama’ah, kepedualian terhadap kebersihan adalah menjadi hal yang diajarkan dan diperhatikan di Assalaam. Hanya saja memang belum sejajar dengan katakanlah pelajaran matematika atau ekonomi. Ke depan perlu dibuat gebrakan bahwa shalat berjama’ah sama pentingnya dengan kehadiran masuk sekolah, hapalan al qur’an sama pentingnya dengan pelajaran matematika atau sosiologi dan seterusnya.

Kemudian aspek ketiga adalah aspek moral, memang di Assalaam, aspek moral ini sudah menjadi pertimbagan tersendiri bagi naik atau tidak naiknya santri ke jenjang berikutnya. Memang sudah selzaimnya diberlakukan demikian. Karena inilah misi Assalaam, menyelenggarakan pendidikan yang tidak menginginkan kebocoran di salah satu aspek. Sebagaimana pendidikan spiritual, maka di sisi moral harus ditanamkan kuat-kuat bahwa santri yang memiliki karakter Islami yang kuat sama pentingnya dengan usaha untuk mencapai ranking satu secara akademik. Tatanan rambut, model pakaian sehari-hari, antri mandi atau makan, merupakan sesuatu yang sama nilainya dengan mata pelajaran, santri atau ustadz tidak membedakan salah satunya lebih penting dari lainnya. Beberapa aspek dari pembentukan moral seperti amanah, rasa hormat kepada orang lain, tanggung jawab, kejujuran, kepedualian dan keanggotaan sebagai bagian masyarakat, merupakan pilar yang dapat dijadikan acuan dalam membina dan mendesain kurikulum moral. Maka berkelahi sesama teman,  mengejek dan memperlihatkan permusuhan baik kepada teman sendiri maupun pengasuh merupakan pelanggaran berat di Assalaam. Adalah sangat ditekankan untuk berlaku sopan terhadap siapapun. Bahwa di Assalaam setiap santri harus merasa senasib sepenanggungan seperjuangan merupakan common senses yang berlaku di santri.

Penjabaran dari pengembangan kecerdasan spiritual dan moral ini tentu sangat panjang sebagaimana luasnya penjabaran dari kurikulum akademik yang menjabarkan kecerdasan intelektual, baik menyangkut kesiapan Assalaam sendiri, maupun orang tua.

Belajar Download

September 9, 2008

sedikit kelemahan guru dalam bidang TI

Beberapa hari yang lalu, teman saya yang guru biologi di RSBI SMA Assalaam Solo (saya sendiri di MAnya Assalaam) bercerita tentang pengalamannnya ikut pelatihan penggunaan teknologi informasi/internet di Bogor beserta guru-guru lainnya di lingkungan sekolah RSBI SMA. Beliau bercerita betapa teman-teman guru itu, dengan usia yang mungkin sudah tergolong tua harus belajar komputer/internet dan yang berkaitan dengannya. Salut iya, namun ada sesuatu yang sesungguhnya ironi di dunia pendidikan kita, bayangkan baru ketika ada undangan pelatihan itu mereka baru beli laptop bahkan baru di buka ditempat pelatihan yang OS laptopnyapun belum preinstalled, belum lagi sesi belajar download, apa yang didownload pun bingung, setelah download tadi disimpan dimana juga bingung. Ini sebagian sedikit cerita teman-teman guru kita ketika berhadapan dengan TI.

Bahkan ternyata banyak yang sekedar mengoperasikan komputer secara basic, menggunakan aplikasi office saja masih terbata-bata, apalagi sesuai dengan persyaratan guru RSBI tentang penguasaan TI. Memang penguasaan ini dilakukan secara bertahap tetapi kalau tidak ada percepatan maka perjalanan guru-guru kita dalam menguasai TI akan sangat-sangat lambat.

Berkaitan dengan ini, blog KTSP yang saya buat ini, sesungguhnya saya sudah menyediakan link untuk download (yang tulisannya warna biru) itu kalau diklik saja maka akan mendownload file yang saya sediakan. ternyata itupun banyak rekan-rekan guru yang tampaknya belum paham, terbukti dari banyaknya komentar yang menginginkan file-file tadi dikirim ke alamat email dari rekan-rekan guru. kadang saya sendiri bingung membaca komentar yang minta dikirimi file ke email. lha tinggal klik, simpan di flash disk (kalau ngenet lewat warnet) trus dibawa pulang diedit jadi deh. lha kalau saya harus ngirim ke email kan kelamaan, saya harus kirim satu-satu, trus nanti rekan-rekan guru buka email lagi trus ambil filenya (ya kalau sudah tahu model attachment) lha kalau ndak masak email isinya silabus.

Sekian, let’s be a smart teacher, because teaching is our profession,  and we live in the world of teaching the next generation.

Buku Sekolah Elektronik

July 22, 2008

Buku pelajaran sekolah, seperti awal tahun ajaran baru ini, merupakan salah satu hal yang termasuk memberatkan keuangan orang tua, karena alokasi dana untuk pembelian buku menyedot ratusan ribu rupiah. maka bila ditotal mulai dari perlengkapan sekolah (tas baru, sepatu baru,sepeda baru, seragam baru, sepatu baru), buku-buku, spp, daftar ulang dlll sangat mungkin biaya yang dibayarkan untuk sekolah ini, terutama disekolah ternetntu bisa mencapai jutaan.

Khusus buku saja, seperti disebutkan di atas yang dapat mencapai hitungan jutaan, maka untuk meringankan beban biaya pembelian buku, mendiknas mulai melakukan peraturan tentang penjualan buku oleh pihak sekolah (kepala sekolah, guru, koperasi sekolah), bahkan bagi pihak-pihak tadi dilarang menjual buku pelajaran, kebijakan ini sangat terasa sekali bagi sekolah-sekolah negri. Sebagai gantinya pemerintah mulai meluncurkan buku gratis. Miskipun sebenarnya model buku gratis ini sudah pernah dilaksanakan dengan adanya bantuan buku-buku ke sekolah, yang bahkan karena suatu hal pengadaan buku-buku bantuan/proyek ini menyeret beberapa pejabat sebagai tersangka kasus korupsi.

adapun buku yang disediakan depdiknas sekarang berupa buku elektronik yang dapat didonwload disini :http://bse4.depdiknas.go.id/

tetapi baru beberapa buku saja yang disediakan. Untuk SD/MI, SMP/MTs sudah banyak tetapi untuk SMA/MA/SMK tampaknya baru beberapa judul buku. Rata-rata baru bahasa indonesia yang bahkan mencapai beberapa judul.